Umar bin Abdul Aziz bin Marwan lahir di Hulwan, sebuah desa di Mesir,
tahun 61 H saat ayahnya menjadi gubernur di daerah itu. Ibunya, Ummu
‘Ashim, putri ‘Ashim bin Umar bin Khaththab. Jadi, Umar bin Abdul Aziz
adalah cicit Umar bin Khaththab dari garis ibu.
Umar bin Abdul Aziz dibesarkan di lingkungan istana. Keluarganya,
seperti keluarga raja-raja Dinasti Umayyah lainnya, memiliki kekayaan
berimpah yang berasal dari tunjangan yang diberikan raja kepada keluarga
dekatnya. Perkebunan miliknya menghasilkan 50.000 dinar per tahun.
Meski demikian, orangtuanya tak tidak lupa memberi pendidikan agama.
Sejak kecil Umar sudah hafal Al-Qur’an. Ayahandanya mengirim Umar ke
Madinah untuk berguru kepada Ubaidillah bin Abdullah. Inilah salah satu
titik balik dalam hidup Umar bin Abdul Aziz. Ia kini dikenal sebagai
orang saleh dan meninggalkan gaya hidup suka berfoya-foya. Bahkan, Zaid
bin Aslam berkata, “Saya tidak pernah melakukan shalat di belakang
seorang imam pun yang hampir sama shalatnya dengan shalat Rasulullah
saw. daripada anak muda ini, yaitu Umar bin Abdul Aziz. Dia sempurna
dalam melakukan ruku’ dan sujud, serta meringankan saat berdiri dan
duduk.” (Zaid bin Aslam dari Anas).
Madinah bukan hanya membuat Umar bin Abdul Aziz saleh, tapi juga
memberi perspektif tentang prinsip-prinsip dasar peradaban Islam di masa
Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin. Umar memiliki pandangan yang
berbeda dengan Bani Umayyah tentang sistem kekhalifahan yang diwariskan
secara turun temurun.
Ketika ayahandanya meninggal, Khalifah Abdul Malik bin Marwan meminta
Umar bin Abdul Aziz datang ke Damaskus untuk dinikahkan dengan anaknya,
Fathimah.
Abdul Malik wafat dan kekhalifahan diwariskan kepada Al-Walid bin
Abdul Malik. Di tahun 86 H, Khalifah baru mengangkat Umar bin Abdul Aziz
menjadi Gubernur Madinah. Namun, pada tahun 93 H Khalifah Al-Walid
memberhentikannya karena kebijakan Umar tidak sejalan dengan
kebijakannya.
Al-Walid juga berusaha mencopot kedudukan saudaranya, Sulaiman bin
Abdul Malik, dari posisi Putra Mahkota. Ia ingin anaknya yang menjadi
Putra Mahkota. Para pembesar dan pejabat negara menyetujui langkah
Al-Walid. Tapi, Umar bin Abdul Aziz menolak.”Di leher kami ada bai’at,”
kata Umar diulang-ulang di berbagai forum dan kesempatan. Akhirnya,
Al-Walid memenjarakannya di ruang sempit dengan jendela tertutup.
Setelah dikurung tiga hari, ia dibebaskan dalam kondisi
memprihatikan. Mengetahui kondisi itu, Sulaiman bin Abdul Malik berkata,
”Dia adalah pengganti setelah saya.”
Di tahun 99 H, ketika berusia 37 tahun, Umar bin Abdul Aziz diangkat
sebagai Khalifah berdasarkan surat wasiat Khalifah Sulaiman bin Abdul
Malik. Saat diumumkan sebagai pengganti Sulaiman bin Abdul Malik, Umar
berkata, ”Demi Allah, sesungguhnya saya tidak pernah memohon perkara ini
kepada Allah satu kali pun.”
Karena itu, di hadapan rakyat sesaat setelah dibaiat ia berkata,
”Saudara-saudara sekalian, saat ini saya batalkan pembaiatan yang
saudara-saudara berikan kepada saya, dan pilihlah sendiri Khalifah yang
kalian inginkan selain saya.” Umar ingin mengembalikan cara pemilihan
kekhilafahan seperti yang diajarkan Nabi, bukan diwariskan secara
turun-temurun. Tapi, rakyat tetap pada keputusannya: membaiat Umar bin
Abdul Aziz.
Setelah menjadi Khalifah, Umar bin Abdul Aziz melakukan gebrakan yang
tidak biasa dilakukan raja-raja Dinasti Umayyah sebelumnya. Para petugas protokoler kekhalifahan terkejut luar biasa. Umar
menolak kendaraan dinas. Ia memilih menggunakan binatang tunggangan
miliknya sendiri. Al-Hakam bin Umar mengisahkan, ”Saya menyaksikan para
pengawal datang dengan kendaraan khusus kekhalifahan kepada Umar bin
Abdul Aziz sesaat dia diangkat menjadi Khalifah. Waktu itu Umar berkata,
’Bawa kendaraan itu ke pasar dan juallah, lalu hasil penjualan itu
simpan di Baitul Maal. Saya cukup naik kendaran ini saja (hewan
tunggangan).’”
’Atha al-Khurasani berkata, ”Umar bin Abdul Aziz memerintahkan
pelayannya untuk memanaskan air untuknya. Lalu pelayannya memanaskan air
di dapur umum. Kemudian Umar bin Abdul Aziz menyuruh pelayannya untuk
membayar setiap satu batang kayu bakar dengan satu dirham.”
’Amir bin Muhajir menceritakan bahwa Umar bin Abdul Aziz akan
menyalakan lampu milik umum jika pekerjaannya berhubungan dengan
kepentingan kaum Muslimin. Ketika urusan kaum Muslimin selesai, maka dia
akan memadamkannya dan segera menyalakan lampu miliknya sendiri.
Yunus bin Abi Syaib berkata, ”Sebelum menjadi Khalifah tali celananya
masuk ke dalam perutnya yang besar. Namun, ketika dia menjadi Khalifah,
dia sangat kurus. Bahkan jika saya menghitung jumlah tulang rusuknya
tanpa menyentuhnya, pasti saya bisa menghitungnya.”
Abu Ja’far al-Manshur pernah bertanya kepada Abdul Aziz tentang
kekayaan Umar bin Abdul Aziz, ”Berapa kekayaan ayahmu saat mulai
menjabat sebagai Khalifah?” Abdul Aziz menjawab, ”Empat puluh ribu
dinar.” Ja’far bertanya lagi, ”Lalu berapa kekayaan ayahmu saat
meninggal dunia?” Jawab Abdul Aziz, ”Empat ratus dinar. Itu pun kalau
belum berkurang.”
Bahkan suatu ketika Maslamah bin Abdul Malik menjenguk Umar bin Abdul Aziz yang sedang sakit. Maslamah melihat pakaian Umar sangat kotor. Ia berkata kepada istri Umar, ”Tidakkah engkau cuci bajunya?” Fathimah menjawab, ”Demi Allah, dia tidak memiliki pakaian lain selain yang ia pakai.”
Bahkan suatu ketika Maslamah bin Abdul Malik menjenguk Umar bin Abdul Aziz yang sedang sakit. Maslamah melihat pakaian Umar sangat kotor. Ia berkata kepada istri Umar, ”Tidakkah engkau cuci bajunya?” Fathimah menjawab, ”Demi Allah, dia tidak memiliki pakaian lain selain yang ia pakai.”
Ketika shalat Jum’at di masjid salah seorang jamaah bertanya, ”Wahai
Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah telah mengaruniakan kepadamu
kenikmatan. Mengapa tak mau kau pergunakan walau sekedar berpakaian
bagus?” Umar bin Abdul Aziz berkata, ”Sesungguhnya berlaku sederhana
yang paling baik adalah pada saat kita kaya dan sebaik-baik pengampunan
adalah saat kita berada pada posisi kuat.”
Seorang pelayan Umar, Abu Umayyah al-Khashy berkata, ”Saya datang
menemui istri Umar dan dia memberiku makan siang dengan kacang adas.
Saya katakan kepadanya, ’Apakah setiap hari tuan makan dengan kacang
adas?’” Fathimah menjawab, ”Wahai anakku, inilah makanan tuanmu, Amirul
Mukminin.” ’Amr bin Muhajir berkata, ”Uang belanja Umar bin Abdul Aziz
setiap harinya hanya dua dirham.”
Suatu saat Umar bin Abdul Aziz mengumpulkan Bani Marwan. Ia berkata,
”Sesungguhnya Rasulullah saw. memiliki tanah fadak, dan dari tanah itu
dia memberikan nafkah kepada keluarga Bani Hasyim. Dan dari tanah itu
pula Rasulullah saw. mengawinkan gadis-gadis di kalangan mereka. Suatu
saat Fathimah memintanya untuk mengambil sebagian dari hasil tanah itu,
tapi Rasulullah saw. menolaknya. Demikian pula yang dilakukan Abu Bakar
r.a. dan Umar r.a. Kemudian harta itu diambil oleh Marwan dan kini
menjadi milik Umar bin Abdul Aziz. Maka, saya memandang bahwa suatu
perkara yang dilarang Rasulullah saw. melarangnya untuk Fathimah adalah
bukan menjadi hakku. Saya menyatakan kesaksian di hadapan kalian semua,
bahwa saya telah mengembalikan tanah tersebut sebagaimana pada zaman
Rasulullah saw.” (riwayat Mughirah).
Wahib al-Wadud mengisahkan, suatu hari beberapa kerabat Umar bin
Abdul Aziz dari Bani Marwan datang, tapi Umar tak bisa menemui mereka.
Lalu mereka menampaikan pesan lewat Abdul Malik, ”Tolong katakan kepada
ayahmu bahwa para Khalifah terdahulu selalu memberikan keistimewaan dan
uang kepada kami, karena mereka tahu kedudukan kami. Sementara ayahmu
kini telah menghapuskannya.”
Abdul Malik menemui ayahnya. Setelah kembali, Abdul Malik
menyampaikan jawaban Umar bin Abdul Aziz kepada mereka, ”Sesungguhnya
aku takut akan azab hari yang besar, jika aku mendurhakai Tuhanku.” Umar
mengutip ayat 15 surat Al-An’am.
Umar bin Abdul Aziz pun pernah memanggil istrinya, Fathimah binti
Abdul Malik, yang memiliki banyak perhiasan pemberian ayahnya, Khalifah
Abdul Malik. ”Wahai istriku, pilihlah olehmu, kamu kembalikan
perhiasan-perhiasan ini ke Baitul Maal atau kamu izinkan saya
meninggalkan kamu untuk selamanya. Aku tidak suka bila aku, kamu, dan
perhiasan ini berada dalam satu rumah.” Fathimah menjawab, ”Saya memilih
kamu daripada perhiasan-perhiasan ini.”
’Amr bin Muhajir meriwayatkan, suatu hari Umar bin Abdul Aziz ingin
makan apel, kemudian salah seorang anggota keluarganya memberi apel yang
diinginkan. Lalu Umar berkata, ”Alangkah harum aromanya. Wahai pelayan,
kembalikan apel ini kepada si pemberi dan sampaikan salam saya
kepadanya bahwa hadiah yang dikirim telah sampai.”
’Amr bin Muhajir mempertanyakan sikap Umar itu, ”Wahai Amirul Mukminin,
orang yang memberi hadiah apel itu tak lain adalah sepupumu sendiri dan
salah seorang yang masih memiliki hubungan kerabat yang sangat dekat
denganmu. Bukankah Rasulullah saw. juga menerima hadiah yang diberikan
orang lain kepadanya?”. Umar bin Abdul Aziz menjawab, ”Celaka kamu, sesungguhnya hadiah yang
diberikan kepada Rasulullah saw. adalah benar-benar hadiah, sedangkan
yang diberikan kepadaku ini adalah suap.”
Suatu ketika Abdul Malik, putra Umar, menemui ayahnya, dan berkata,
”Wahai Amirul Mukminin, jawaban apa yang engkau persiapkan di hadapan
Allah swt. di hari Kiamat nanti, seandainya Allah menanyakan kepadamu,
’Mengapa engkau melihat bid’ah, tapi engkau tidak membasminya, dan
engkau melihat Sunnah, tapi engkau tidak menghidupkannya di
tengah-tengah masyarakat?’”
Umar menjawab, ”Semoga Allah swt. mencurahkan rahmat-Nya kepadamu dan
semoga Allah memberimu ganjaran atas kebaikanmu. Wahai anakku,
sesungguhnya kaummu melakukan perbuatan dalam agama ini sedikit demi
sedikit. Jika aku melakukan pembasmian terhadap apa yang mereka lakukan,
maka aku tidak merasa aman bahwa tindakanku itu akan menimbulkan
bencana dan pertumpahan darah, serta mereka akan menghujatku. Demi
Allah, hilangnya dunia bagiku jauh lebih ringan daripada munculnya
pertumpahan darah yang disebabkan oleh tindakanku. Ataukah kamu tidak
rela jika datang suatu masa, dimana ayahmu mampu membasmi bid’ah dan
menghidupkan Sunnah?”
Pemerintahan Umar bin Abdul Aziz sangat memprioitaskan kesejahtera
rakyat dan tegaknya keadilan. Fathimah binti Abdul Malik pernah
menemukan suaminya sedang menangis di tempat biaya Umar melaksanakan
shalat sunnah. Fathimah berusaha membesarkan hatinya. Umar bin Abdul
Aziz berkata, ”Wahai Fathimah, sesungguhnya saya memikul beban umat
Muhammad dari yang hitam hingga yang merah. Dan saya memikirkan
persoalan orang-orang fakir dan kelaparan, orang-orang sakit dan
tersia-siakan, orang-orang yang tak sanggup berpakaian dan orang yang
tersisihkan, yang teraniaya dan terintimidasi, yang terasing dan
tertawan dalam perbudakan, yang tua dan yang jompo, yang memiliki banyak
kerabat, tapi hartanya sedikit, dan orang-orang yang serupa dengan itu
di seluruh pelosok negeri. Saya tahu dan sadar bahwa Tuhanku kelak akan
menanyakan hal ini di hari Kiamat. Saya khawatir saat itu saya tidak
memiliki alasan yang kuat di hadapan Tuhanku. Itulah yang membuatku
menangis.”
Malik bin Dinar berkata, ”Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi
Khalifah, para penggembala domba dan kambing berkata, ”Siapa orang saleh
yang kini menjadi Khalifah umat ini? Keadilannya telah mencegah
serigala memakan domba-domba kami.”
Begitulah Umar bin Abdul Aziz, meski memerintah tidak sampai dua
tahun, rakyatnya hidup sejahtera. Umar bin Usaid berkata, ”Demi Allah,
Umar bin Abdul Aziz tidak meninggal dunia hingga seorang laki-laki
datang kepada kami dengan sejumlah harta dalam jumlah besar dan berkata,
’Salurkan harta ini sesuai kehendakmu.’ Ternyata tak ada seorang pun
yang berhak menerimanya. Sungguh Umar bin Abdul Aziz telah membuat
manusia hidup berkecukupan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar