Cerita Seorang Anak Yatim Piatu Selepas Pesta Ulang Tahun Tetangganya
by Taufiq Ismail
1
Seminggu lalu datanglah undangan untuk kami anak-anak penghuni Panti
Asuhan, diantarkan seorang ibu dan anak gadisnya sekolahnya kira-kira di
SMA. Mereka naik Corolla biru, dari pakaian, cara bicara dan perilaku
kelihatan tamu ini orang gedongan atau golongan yang hidup lebih dari
kecukupan. Mereka mengundang anak-anak panti asuhan untuk ikut acara
ulang tahun rabu jam tujuh malam. Dan berangkatlah kami pada waktu yang
ditentukan berjumlah dua puluh tiga, termasuk bapak dan ibu asrama
jalan kaki bersama, karena jaraknya cuma terpisah sepuluh rumah saja.
Rombongan dipersilahkan masuk dengan ramah dan anak-anak berusaha
duduk di belakang-belakang saja, tapi disuruh berbaur dengan tamu-tamu
lainnya para remaja belasan tahun. Mereka sehat-sehat, harum-harum
Berbaju mahal dan tembem-tembem pipinya, saya berjuang melawan sifat
minder saya duduk di tengah ruang tamu yang luas di atas karpet
bersila, pegal dan canggung di antara jajaran barang antik dan
macam-macam perabotan di bawah lampu kristal bergelantungan. Tapi
alangkah aku jadi heran tidak ada acara potong kue dan tiup lilin, tidak
ada tepuk tangan mengiringi Lagu Hepi-Bisde-Tuyu Hepi-Bisde-Tuyu.
2
Lalu seorang remaja membaca surah Luqman dengan suara amat merdunya
dan suaranya berubah jadi untaian mutiara yang berkilauan jadi kalung di
leher pendengarnya. Kemudian Lia yang berulang tahun berpidato sangat
mengharukan ”Dalam acara seperti ini Bukan saya yang jadi pusat
perhatian diperingati atau dihargai, tapi mama, ya, mama kita, ibunda
kita dan ayahanda. Ibunda dan ayahanda pusat perhatian kita. Hari ini,
enam belas tahun yang lalu mama melahirkan saya. Posisi saya sungsang.
Saya terlalu besar. Jadi mama harus sectio Caesaria mama dibedah,
berdarah-darah. Seluruh keluarga khawatir dan berdoa. Di luar ruang
operasi duduk menanti berita dalam kecemasan luar biasa. Tapi
alhamdulillah, kelahiran selamat walau pun mama sangat menderita
sekarang ini, enam belas tahun kemudian. Ulang tahun saya dirayakan, saya
pikir, tidak logis saya yang jadi pusat perhatian, harusnya mama yang
jadi pusat perhatian, mama dan bukan saya. Saya pikir, tidak logis saya
minta kado, harusnya mama yang diberi kado…”
Anak gadis itu berhenti sebentar. Dia sangat terharu. Kemudian dia
mengambil sebuah bungkusan kertas berkilat, diikat pita berbentuk bunga,
”Mama, Terima kasih mama, terima kasih. Mama telah melahirkan saya dengan
susah payah. Mama menyabung nyawa. Berdarah-darah persis malam ini, 16
tahun yang lalu. Terimalah rasa terima kasih ananda tidak seberapa
harganya.” Mamanya berdiri. Terpukau pada kata-kata anak gadisnya,
terharu pada jalan pikirannya yang dia tak sangka-sangka, dia langsung
memeluk anaknya terguguk-guguk menangis. Keduanya tersedu-sedu, hadirin
menitikkan air mata pula, suasana mencekam terasa. Dan hening agak lama.
3
Kemudian kakak pembawa acara berkata ”Para hadirin yang mulia, ini
memang kejutan bagi kita Karena dengan tahun yang lalu acara ini begitu
berbeda, Lia tidak mau tiup lilin, karena ditemukannya di ensiklopedia,
Manusia di Zaman Batu di Eropa percaya pada kekuatan nyala lilin,
begitu tahayulnya bisa mengusir sihir, roh jahat, leak dan memedi begitu
katanya, termasuk sijundai, setan, hantu, kuntilanak dan gendruwo. Dan
itu berlanjut ke zaman Romawi kuno, lalu dikarang lagi berikutnya
superstisi Yaitu apabila lilin-lilin itu sekali tiup nyalanya semua mati
maka akan terkabul apa yang jadi cita-cita di dalam hati. Lia tidak
mau acara ulang tahunnya jadi bernoda oleh tahayul.
Acara yang ditentukan oleh budaya jahiliah zaman purbakala Katanya:
’Kok tiupan nyala 16 lilin bisa menentukan nasib saya ?, Alloh SWT yang
menentukan nasib saya sesudah kerja keras saya, saya tidak mau
dibodoh-bodohi tahayul, walaupun itu datangnya dari barat atau pun timur
juga, saya tidak mau dibodoh-bodohi budaya mereka. Minta kado dari Papa
dan Mama. Minta kado dari keluarga dan kawan-kawan saya. Saya tidak mau
cuma jadi kawanan burung kakaktua. Burung beo yang pintar meniru adat
Belanda dan Amerika dalam acara ulang tahun kita’ Begitu katanya.”
Sesudah bertangis-tangisan dengan ibunya Berkatalah yang berulang
tahun itu ”Hadiah paling saya harapkan dari kalian Adalah doa bersama
sesudah hamdalah dan shalawat, karena saya ingin jadi anak yang baik
perilakunya, jadi perhiasan di leher ibuku, jadi penyenang hati ayahku,
rukun dengan kakak-kakak dan adik-adikku, bertegur-sapa dengan semua
tetangga, dan kelak ketika dewasa Berguna bagi Indonesia.”
4
Anak yatim piatu yang mendapat undangan itu, lihatlah bersama
kawan-kawannya dipersilahkan makan bersama-sama, dengarlah kisah
kesannya kini : ”Dalam acara makan kunikmati nasi Beras Rajalele yang
putih gurih, dendeng tipis balado, ikan emas panggang dan udang goreng,
besar dan gemuk-gemuk, belum pernah aku memegang udang sebesar itu. Di
asrama ikan asin dan tempe seperti nyanyian yang nyaris abadi,
dadang-kadang makan pun cuma sekali sehari. Ketika kulayangkan
pandangku ke depan, kulihat tuan rumah yang baik hati itu, Bapak dan ibu
itu Berdiri bersama Lia anak gadisnya berbicara amat mesranya.
Kubayangkan ayahku almarhum, mungkin seusia dengan bapak ini, beliau
meninggal ketika umurku setahun. Kubayangkan ibuku almarhumah wafat
ketika aku kelas enam SD Mungkin seusia pula dengan ibu itu, tidak
pernah aku merayakan ulang tahunku, tidak pernah.
Semoga syurga firdaus jua Bagi ibu bapakku
Panas mengembang di atas pipiku Tak tertahan Titik air mataku.”
1980, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar