Kamis, 31 Januari 2013

WAJIBNYA BERBAKTI DAN HARAMNYA DURHAKA KEPADA KEDUA ORANG TUA


Oleh
Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Allah memerintahkan dalam Al-Qur'an agar berbakti kepada kedua orang tua. Mengenai wajibnya seorang anak berbakti kepada orang tua, Allah berfirman di dalam surat Al-Isra' ayat 23-24.

"Artinya : Dan Rabb-mu telah memerintahkan kepada manusia janganlah ia beribadah melainkan hanya kepadaNya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut disisimu maka janganlah katakan kepada keduanya 'ah' dan janganlah kamu membentak keduanya" [Al-Isra : 23]

"Artinya : Dan katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang. Dan katakanlah, "Wahai Rabb-ku sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku di waktu kecil" [Al-Isra : 24]

Juga An-Nisa ayat 36.

"Artinya : Dan sembahlah Allah dan janganlah menyekutukanNya dengan sesuatu, dan berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak, kepada kaum kerabat kepada anak-anak yatim kepada orang-orang miskin, kepada tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan dirinya" [An-Nisa : 36]

Juga terdapat dalam surat Luqman ayat 14-15.

"Artinya : Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kalian kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku lah kalian kembali" [Luqman : 14]

"Artinya : Dan jika keduanya memaksamu mempersekutukan sesuatu dengan Aku yang tidak ada pengetahuanmu tentang Aku maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang baik dan ikuti jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu maka Aku kabarkan kepadamu apa yang kamu kerjakan" [Luqman : 15]

Atau seperti yang tercantum dalam surat Al-Ankabut ayat 8, tidak boleh mematuhi orang tua yang kafir kalau mengajak kepada kekafiran.

"Artinya : Dan Kami wajibkan kepada manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan" [Al-Ankabut : 8]

Serta surat Al-Ahqaaf ayat 15-16.

"Artinya : Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun, ia berdo'a "Ya Rabb-ku, tunjukilah aku untuk menysukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridlai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" [Al-Ahqaaf : 15]

"Artinya : Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka" [Al-Ahqaaf : 16]

Sedangkan tentang anak durhaka kepada kedua orang tuanya terdapat di dalam surat Al-Ahqaaf ayat 17-20.

"Artinya : Dan orang yang berkata kepada kedua orang tuanya, 'Cis (ah)' bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku ? lalu kedua orang tua itu memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan, "Celaka kamu, berimanlah ! Sesungguhnya janji Allah adalah benar" Lalu dia berkata, "Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu" [Al-Ahqaaf : 17]

"Artinya : Mereka itulah orang-orang yang telah pasti ketetapan (adzab) atas mereka, bersama-sama umat-umat yang telah berlalu sebelum mereka dari jin dan manusia. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi" [Al-Ahqaaf : 18]

"Artinya : Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) apa yang telah mereka kerjakan sedang mereka tidak dirugikan" [Al-Ahqaaf : 19]

"Artinya : Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan), "Kamu telah memhabiskan rizkimu dalam kehidupan duniawi dan kamu telah bersenang-senang dengannya maka pada hari ini kamu dibalas dengan adzab yang menghinakan. Karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak, dan karena kamu telah berbuat fasik" [Al-Ahqaaf : 20]

Sedangkan dalam surat Al-Baqarah ayat 215

"Artinya : Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang mereka infakkan. Jawablah, "Harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapakmu, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dan apa saja kebajikan yang kamu perbuat sesungguhnya Allah Maha Mengetahui" [Al-Baqarah : 215]

Banyak sekali ayat-ayat di dalam Al-Qur'an yang menerangkan tentang wajibnya berbakti kepada kedua orang tua. Dalam surat Luqman, Allah menyebutkan wajibnya seorang anak berbakti kepada kedua orang tua dan bersyukur kepadanya serta disebutkan juga tentang larangan mengikuti orang tua jika orang tua tersebut mengajak kepada syirik.

[Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, terbitan Darul Qolam - Jakarta.]

Selasa, 29 Januari 2013

WASIAT BERBUAT BAIK KEPADA ORANG TUA TATKALA KEDUANYA BERUSIA LANJUT


Oleh
Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Berbuat baik kepada kedua orang tua hukumnya wajib, baik waktu kita masih kecil, remaja atau sudah menikah dan sudah mempunyai anak bahkan saat kita sudah mempunyai cucu. Ketika kedua orang tua kita masih muda atau sudah lanjut usianya bahkan pikun kita tetap wajib berbakti kepada keduanya. Bahkan lebih ditekankan lagi apabila kedua orang tua sudah tua dan lemah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat Al-Isra' ayat 23 dan 24 dalam pembahasan sebelumnya.

Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman bahwa Rabb (Allah) telah memerintahkan kepada manusia agar tidak beribadah melainkan hanya kepada Allah saja. Kemudian hendaklah manusia berbuat sebaik-baiknya kepada kedua orang tuanya. Jika salah seorang atau kedua-duanya ada di sisinya dalam usia lanjut maka jangan katakan kepada keduanya perkataan 'uh' serta tidak boleh membentak keduanya, memukulkan tangan, menghentakkan kaki karena hal itu termasuk durhaka kepada kedua orang tua. Dan katakanlah kepada keduanya dengan perkataan yang mulia.

Pada ayat ini Allah mengatakan 'kibara', kibar atau kibarussin artinya berusia lanjut, sedangkan 'indaka' berarti pemeliharaan yaitu suatu kalimat yang menggambarkan makna tempat berlindung dan berteduh pada saat masa tua, lemah dan tidak berdaya. Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan tentang lebih ditekankannya berbuat baik pada kedua orang tua pada usia lanjut karena :

Pertama
Keadaaan usia lanjut adalah keadaan dimana keduanya membutuhkan perlakuan yang lebih baik karena keadaannya pada saat itu sangat lemah.

Kedua
Semakin tua usia orang tua berarti semakin lama orang tua bersama anak. Hal ini dapat menyebabkan 'Si Anak' merasa berat sehingga dikhawatirkan akan berkurang berbuat baiknya, karena segala sesuatunya diurusi oleh anak dan keluarlah perkataan 'ah' atau membentak atau dengan ucapan, "Orang tua ini menyusahkan", atau yang lain. Apalagi apabila orang tuanya sudah pikun, akan membuat anak mudah marah atau benci kepadanya. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berwasiat agar manusia selalu ingat untuk berbakti kepada kedua orang tua.

Banyak sekali hadits-hadits yang menyebutkan tentang ruginya seseorang yang tidak berbakti kepada kedua orang tua pada waktu orang tua masih berada di sisi kita. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh beberapa sahabat yaitu :

"Artinya : Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda, "Celaka, sekali lagi celaka, dan sekali lagi celaka orang yang mendapatkan kedua orang tuanya berusia lanjut, salah satunya atau keduanya, tetapi (dengan itu) dia tidak masuk syurga" [Hadits Riwayat Muslim 2551, Ahmad 2:254, 346]

Kemudian hadits berikut ini :
"Artinya : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam naik ke atas mimbar kemudian berkata, "Amin, amin, amin". Para sahabat bertanya. "Kenapa engkau berkata 'Amin, amin, amin, Ya Rasulullah?" Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Telah datang malaikat Jibril dan ia berkata : 'Hai Muhammad celaka seseorang yang jika disebut nama engkau namun dia tidak bershalawat kepadamu dan katakanlah amin!' maka kukatakan, 'Amin', kemudian Jibril berkata lagi, 'Celaka seseorang yang masuk bulan Ramadhan tetapi keluar dari bulan Ramadhan tidak diampuni dosanya oleh Allah dan katakanlah amin!', maka aku berkata : 'Amin'. Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata lagi. 'Celaka seseorang yang mendapatkan kedua orang tuanya atau salah seorang dari keduanya masih hidup tetapi justru tidak memasukkan dia ke surga dan katakanlah amin!' maka kukatakan, 'Amin". [Hadits Riwayat Bazzar dalama Majma'uz Zawaid 10/1675-166, Hakim 4/153 dishahihkannya dan disetujui oleh Imam Adz-Dzahabi dari Ka'ab bin Ujrah, diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 644 [Shahih Al-Adabul Mufrad No. 500 dari Jabir bin Abdillah]

Pada umumnya seorang anak merasa berat dan malas memberi nafkah dan mengurusi kedua orang tuanya yang masih berusia lanjut. Namun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa keberadaan kedua orang tua yang berusia lanjut itu adalah kesempatan paling baik untuk mendapatkan pahala dari Allah, dimudahkan rizki dan jembatan emas menuju surga. Karena itu sungguh rugi jika seorang anak menyia-nyiakan kesempatan yang paling berharga ini dengan mengabaikan hak-hak orang tuanya dan dengan sebab itu dia tidak masuk surga.

Jika kita mencoba membandingkan antara berbakti kepada kedua orang tua dengan jalan mengurusi kedua orang tua yang sudah lanjut usia atau bahkan sudah pikun yang berada di sisi kita dengan ketika kedua orang tua kita mengurusi dan mebesarkan serta mendidik kita sewaktu masih kecil, maka berbakti kepada keduanya masih terbilang labih ringan. Mungkin kita mengurusnya hanya beberapa tahun saja. Sedangkan mereka mengurus kita membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun. Dari mulai hamil, hingga dilahirkan kemudian disekolahkan. Kedua orang tua kita memberikan segala yang kita minta mungkin lebih dari 10 tahun bahkan sampai 25 tahun.

Ketika orang tua mengurusi kita, dia mendo'akan agar si anak hidup dengan baik dan menjadi anak yang shalih, tetapi ketika orang tua ada di sisi kita, di do'akan supaya cepat meninggal. Bahkan ada di antara mereka yang menyerahkan keduanya ke panti jompo. Ini adalah perbuatan dari anak-anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya.

Bagaimanapun keadaannya, kedudukan mereka tetaplah sebagai orang tua kita, walaupun mereka bodoh, kasar atau bahkan jahat kepada kita. Dialah yang melahirkan dan mengurusi kita, bukan orang lain. Maka kita wajib berbakti kepada keduanya bagaimanapun keadaannya. Seandainya dia berbuat syirik atau bid'ah, kita wajib mendakwahkan kepadanya dengan baik supaya dia kembali, kita do'akan supaya mendapatkan hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, bukan diperlakukan dengan tidak baik, berbuat kasar atau pun yang lainnya.


[Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, terbitan Darul Qolam - Jakarta]

Sabtu, 26 Januari 2013

BERBUAT BAIK KEPADA ORANG-ORANG LEMAH

Oleh
Syaikh Dr Fadhl Ilahi




Termasuk di antara kunci-kunci rizki adalah berbuat baik kepada orang-orang miskin. Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa para hamba itu ditolong dan diberi rizki disebabkan oleh orang-orang yang lemah di antara mereka.

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Mush’ab bin Sa’d Radhiyallahu ‘anhu ia berkata, ‘Bahwasanya Sa’d Radhiyallahu ‘anhu merasa dirinya memiliki kelebihan daripada orang lain. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Bukankah kalian ditolong [1] dan diberi rizki lantaran orang-orang lemah di antara kalian?” [Shahihul Bukhari (yang dicetak bersama Umdatul Qari), Kitab Al-Jihad was Siyar, Bab Man Ista’ana Bidh Dhu’afa Wash Shalihin Fil Harbi, no. 108, 14/179]

Karena itu, siapa yang ingin ditolong Allah dan diberi rizki olehNya maka hendaknya ia memuliakan orang-orang lemah dan berbuat baik kepada mereka.

Nabi yang mulia, Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskan bahwa keridhaannya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat diperoleh dengan berbuat baik kepada orang-orang miskin.

Imam Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’I, Ibnu Hibban dan Al-Hakim meriwayatkan dari Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Carilah (keridhaan)ku melalui orang-orang lemah di antara kalian. Karena sesungguhnya kalian diberi rizki dan ditolong dengan sebab orang-orang lemah di antara kalian” [2]

Menjelaskan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diatas Al-Mulla Ali Al-Qari berkata, ‘Carilah keridhaanku dengan berbuat baik kepada orang-orang miskin di antara kalian. [Lihat, Murqatul Mafatih, 9/84]

Dan barangsiapa berusaha mendapatkan keridhaan kekasih Yang Maha Memberi rizki dan Maha Memiliki kekuatan dan keperkasaan, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan berbuat baik kepada orang-orang miskin, niscaya Tuhannya akan menolongnya dari para musuh serta akan memberi rizki.


[Disalin dari buku Mafatiihur Rizq fi Dhau’il Kitab was Sunnah, edisi Indonesia Kunci-Kunci Rizki Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah hal 72-74, Penerjemah Ainul Haris Arifin, Lc. Darul Haq]
_________
Foote Note.
[1] (Seperti) ditolong dari serangan musuh [Murqatul Mafatih, 9/84]
[2] Al-Musnad 5/198 (cet. Al-Maktab Al-Islami) ; Sunan Abi Daud Kitab Al-Jihad, Bab Al-Intishar bi Radhalil Khail Wadh Dha’fah, no. 2591, 7/183 ; Jami’ut Tirmidzi, Ababul Jihad, Bab Ma Ja’a Fil Istiftah bi Sha’alikil Muslimin, no. 1754, 5/291, dan redaksi ini adalah miliknya ; Sunan An-Nasa’i, Kitab Al-Jihad, Al-Istinshar bidh Dha’if 6/45-46 ; Al-Ihsan Fi Taqribi Shahih Ibni Hibban, Kitab As-Siar, Bab Al-Khuruj wa Kaifiyatul Jihad, Dikru Istihbabil Intishar bi Dhu’aafa’il Muslimin ‘inda Qiyamil Harbi ‘ala Saq, no. 4767, 11/85 ; Al-Mustadrak ‘alash Shahihain, Kitab Al-Jihad, 2/106. Tentang hadits ini Imam At-Tirmidzi berkata, Ini adalah hadits Hasan Shahih. (Jami’ut Tirmidzi, 5/292). Dan dishahihkan oleh Imam Al-Hakim. (Lihat, Al-Mustadrak, 2/106). Disepakati oleh Adz-Dzahabi (Lihat, At-Talkish, 2/106). Juga dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani. (Lihat Shahih Sunan Abu Daud, 2/492 ; Shahih Sunan At-Tirmidzi, 2/140 ; Shahih Sunan An-Nasa’i 2/669 ; Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah, no. 779, 2/422

Rabu, 23 Januari 2013

APAKAH BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA MENCAKUP SEGALA HAL?

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Sebagian orang, beranggapan bahwa berbakti kepada kedua orang tua adalah dalam segala hal. Kami mohon perkenan Syaikh untuk menjelaskan batasan-batasan berbakti kepada kedua orang tua.

Jawaban
Berbakti kepada kedua orang tua adalah berbuat baik kepada keduanya dengan harta, bantuan fisik, kedudukan dan sebagainya, termasuk juga dengan perkataan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan tentang bakti ini dalam firmanNya.

“Artinya : Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kemu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” [Al-Isra : 23]

Demikian ini terhadap orang tua yang sudah lanjut usia. Biasanya orang yang sudah lanjut usia perilakunya tidak normal, namun demikian Allah menyebutkan.

“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’”

Yakni sambil merasa tidak senang kepada keduanya.

“Dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”

Bentuk perbuatan, hendaknya seseorang bersikap santun dihadapan kedua orang tuanya serta bersikap sopan dan penuh kepatuhan karena status mereka sebagai orang tuanya, demikian berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai Rabbku, kasihinilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil” [Al-Isra : 24]

Lain dari itu, hendaknya pula berbakti dengan memberikan harta, karena kedua orang tua berhak memperoleh nafkah, bahkan hak nafkah mereka merupakan hal yang paling utama, sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersada.

“Artinya : Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu” [1]

Lain dari itu, juga mengabdi dengan bentuk berbuat baik, yaitu berupa perkataan dan perbuatan seperti umumnya yang berlaku, hanya saja mengabdi dalam perkara yang haram tidak boleh dilakukan, bahkan yang termasuk baktin adalah menahan diri dari hal tersebut, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Tolonglah saudaramu baik ia dalam kondisi berbuat aniaya maupun teraniaya”

Ditanyakan kepada beliau, “Begitulah bila ia teraniaya, lalu bagaimana kami menolongnya bila ia berbuat aniaya ?” beliau menjawab.

“Artinya : Engkau mencegahnya dari berbuat aniaya” [2]

Jadi, mencegah orang tua dari perbuatan haram dan tidak mematuhinya dalam hal tersebut adalah merupakan bakti terhadapnya. Misalnya orang tua menyuruhnya untuk membelikan sesuatu yang haram, lalu tidak menurutinya, ini tidak dianggap durhaka. Bahkan sebaliknya, ia sesungguhnya telah berbuat baik, karena dengan begitu ia telah mencegahnya dari yang haram.

[Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-3, Darul Haq]
_________
Foote Note
[1] Hadits Riwayat Abu Daud dalam Al-Buyu 3530, Ibnu Majah dalam At-Tijarah 2292 dari hadits Ibnu Amr, Ibnu Majah 2291 dari hadits Jabir
[2] Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam Al-Mazhalim 24444 dari hadits Anas, Muslim meriwayatkan seperti dalam Al-Birr 2584 dari hadits Jabir, Ahmad 12666 dari Anas. Lafazh di atas adalah riwayat Ahmad

HAK IBU LEBIH BESAR DARI PADA HAK AYAH


Oleh
Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Di dalam surat Al-Ahqaf ayat 15 Allah Subhanahu wa Ta'alaa berfirman :

"Artinya : Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo'a, "Ya Rabb-ku, tunjukkilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridlai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri".

Ukuran terendah mengandung sampai melahirkan adalah 6 bulan (pada umumnya adalah 9 bulan 10 hari) di tambah 2 tahun menyusui anak jadi 30 bulan, sehingga tidak bertentangan dengan surat Lukman ayat 14. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir]

Dalam ayat ini disebutkan bahwa ibu mengalami tiga macam kepayahan, yang pertama adalah hamil kemudian melahirkan dan selanjutnya menyusui. Karena itu kebaikan kepada ibu tiga kali lebih besar dari pada kepada bapak.

Dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.

"Artinya : Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu ia berkata, "Datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, 'Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali ?' Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Ibumu!' Orang tersebut kembali bertanya, 'Kemudian siapa lagi ?' Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Ibumu!' Ia bertanya lagi, 'Kemudian siapa lagi?' Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Ibumu!', Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi, 'Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Bapakmu' "[Hadits Riwayat Bukhari (AL-Ftah 10/401) No. 5971, Muslim 2548]

Imam Adz-Dzhabai dalam kitabnya Al-Kabair berkata :
"Ibumu telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan seolah-olah sembilan tahun. Dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja menghilangkan nyawanya. Dan dia telah menyusuimu dari teteknya, dan ia hilangkan rasa kantuknya karena menjagamu. Dan dia cuci kotoranmu dengan tangan kanannya, dia utamakan dirimu atas dirinya serta atas makanannya. Dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu. Dia telah memberikannmu semua kebaikan dan apabila kamu sakit atau mengeluh tampak darinya kesusahan yang luar biasa dan panjang sekali kesedihannya dan dia keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu dan seandainya dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka dia akan meminta supaya kamu hidup dengan suara yang paling keras.

Betapa banyak kebaikan ibu, sedangkan engkau balas dengan akhlak yang tidak baik. Dia selalu mendo'akanmu dengan taufiq, baik secara sembunyi maupun terang-terangan. Tatkala ibumu membutuhkanmu di saat di sudah tua renta, engkau jadikan dia sebagai barang yang tidak berharga disisimu. Engkau kenyang dalam keadaan dia lapar. Engkau puas dalam keadaan dia haus. Dan engkau mendahulukan berbuat baik kepada istri dan anakmu dari pada ibumu. Dan engkau lupakan semua kebaikan yang pernah dia buat. Dan rasanya berat atasmu memeliharanya padahal adalah urusan yang mudah. Dan engkau kira ibumu ada di sisimu umurnya panjang padahal umurnya pendek. Engkau tinggalkan padahal dia tidak punya penolong selainmu.

Padahal Allah telah melarangmu berkata 'ah' dan Allah telah mencelamu dengan celaan yang lembut. Dan engkau akan disiksa di dunia dengan durhakanya anak-anakmu kepadamu. Dan Allah akan membalas di akhirat dengan dijauhkan dari Allah Rabbul 'Aalamin. Dan Allah berfirman di dalam surat Al-Hajj ayat 10 :

"Artinya : (Akan dikatakan kepadanya), 'Yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tanganmu dahulu dan sesungguhnya Allah sekali-kali tidak pernah berbuat zhalim kepada hamba-hambaNya".

Demikianlah dijelaskan oleh Imam Adz-Dzahabi tentang besarnya jasa seorang ibu terhadap anak dan menjelaskan bahwa jasa orang tua kepada anak tidak bisa dihitung. Ketika Ibnu Umar menemui seseorang yang menggendong ibunya beliau mengatakan, "Itu belum bisa membalas". Kemudian juga beberapa riwayat[1] disebutkan bahwa seandainya kita ingin membalas jasa orang tua kita dengan harta atau dengan yang lain, masih juga belum bisa membalas. Bahkan dikatakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Kamu dan hartamu milik bapakmu" [Hadits Riwayat Ibnu Majah dari Jabir, Thabrani dari Samurah dan Ibnu Mas'ud, Lihat Irwa'ul Ghalil 838]


[Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, terbitan Darul Qolam - Jakarta]
_________
Foote Note.
[1] Shahih Ibnu Majah No. 1855

BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA MERUPAKAN SIFAT BAARIZAH (YANG MENONJOL) DARI PARA NABI


Oleh
Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



Dalam surat Maryam ayat 30-34 Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan bahwa Isa bin Maryam adalah anak yang berbakti kepada ibunya.

"Artinya : Berkata Isa, "Sesungguhnya aku ini hamba Allah, yang memberi Al-Kitab (Injil), Dia menjadikan aku seorang nabi" [Maryam : 30]

"Artinya : Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi dimana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku untuk (mendirikan) shalat, (menunaikan) zakat selama aku hidup" [Maryam : 31]

"Artinya : Dan Allah memerintahkan aku berbakti kepada ibuku dan tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka" [Maryam : 32]

"Artinya : Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku. Itulah Isa putra Maryam, mengatakan perkataan yang benar dan mereka berbantahan tentang kebenarannya" [Maryam : 33]

Kemudian Allah berfirman di dalam surat Ibrahim ayat 40-41

"Artinya : Wahai Rabb-ku jadikanlah aku dan anak cucuku, orang yang tetap mendirikan shalat, wahai Rabb-ku perkenankanah do'aku" [Ibrahim : 40]

"Artinya : Wahai Rabb kami, berikanlah ampunan untukku dan kedua orang tuaku. Dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab" [Ibrahim : 41]

Lihat juga dalam surat Asy-Syu'araa ayat 83-87.

"Artinya : (Ibrahim berdo'a), "Ya Rabb-ku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang shalih" [Asy-Syu'araa : 83]

"Artinya : Dan jadikanlah aku tutur kata yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian" [Asy-Syu'araa : 84]

"Artinya : Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mewarisi surga yang penuh kenikmatan" [Asy-Syu'araa : 85]

"Artinya : Dan ampunilah bapakku, karena sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat" [Asy-Syua'araa : 86]

"Artinya : Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan" [Asy-Syua'raa : 87]

Demikian juga Nabi Nuh 'Alaiahi salam mengatakan hal yang sama dalam surat Nuh. Kemudian Nabi Ismail 'Alaihis salam, juga Nabi Yahya 'Alaihis Salam dalam surat Maryam ayat 12-15.

"Artinya : Ambillah Al-Kitab dengan sungguh-sungguh, Kami berikan kepadanya hikmah, ketika masih kanak-kanak" [Maryam : 12]

"Artinya : Dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi Kami dan ia adalah orang-orang yang bersih dosa dan orang-orang bertaqwa" [Maryam : 13]

"Artinya : Dan banyak berbakti kepada kedua orang tuanya, bukanlah ia termasuk orang-orang yang sombong lagi durhaka" [Maryam : 14]

"Artinya : Kesejahteraan semoga atas dirinya, pada hari ia dilahirkan, pada hari ia diwafatkan dan pada hari ia dibangkitkan" [Maryam : 15]

Kemudian dalam An-Naml ayat 19 tentang Nabi Sulaiman 'Alaihis salam.
"Artinya : Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdo'a, "Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugrahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan untuk mengerjakan amal shalih yang Engkau ridlai dan masukanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih" [An-Naml : 19]

Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa berbakti kepada orang tua merupakan sifat yang menonjol bagi para nabi. Semua nabi berbakti kepada kedua orang tua mereka. Dan ini menunjukkan bahwa berbakti kepada orang tua adalah syariat yang umum. Setiap nabi dan rasul yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala ke muka bumi selain diperintahkan untuk menyeru umatnya agar berbakti kepada Allah, metauhidkan Allah dan menjauhkan segala macam perbuatan syirik juga diperintahkan untuk menyeru umatnya agar berbakti kepada kedua orang tuanya.

Bila diperhatikan bahwa berbuat baik kepada kedua orang tua seperti tercantum dalam surat An-Nisaa, surat Al-Isra dan surat-surat yang lainnya menunjukkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua adalah masalah kedua setelah mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kalau selama ini yang dikaji adalah masalah tauhid, masalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, aqidah Salaf, untuk selanjutnya wajib pula bagi setiap muslim dan muslimah untuk mengkaji masalah berbakti kepada kedua orang tua. Tidak boleh terjadi bagi seorang yang bertauhid kepada Allah tetapi ia durhaka kepada kedua orang tuanya, wal iyadzubillah nas alullaha salamah wal 'afiyah. Bagi seorang muslim terutama bagi seorang thalibul 'ilm (penuntut ilmu), wajib baginya berbakti kepada kedua orang tuanya.

Di dalam ayat-ayat Al-Qur'an ketika disebutkan tentang bertauhid kepada Allah selalu diiringi dengan berbakti kepada kedua orang tua. Para ulama telah menjelaskan hikmah dari permasalahan ini, yaitu :

[1] Allah Subhanahu wa Ta'ala yang menciptakan dan Allah yang memberikan rizki, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala sajalah yan berhak untuk diibadahi. Sedangkan kedua orang tua adalah sebab adanya anak, maka keduanya berhak untuk diperlakukan dengan baik. Oleh karena itu kewajiban seorang anak untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala harus diiringi dengan berbakti kepada kedua orang tuanya.

[2] Allah lah yang telah memberikan semua nikmat yang diperoleh hamba-hambaNya, maka hanya Allah Subhanahu wa Ta'ala saja yang wajib di syukuri. Kemudian kedua orang tua lah yang telah memberikan segala yang kita butuhkan seperti makan, minum, pakaian dan yang lainnya sehingga wajib bagi kita untuk berterima kasih kepada keduanya. Oleh karena itu kewajiban seorang anak atas nikmat yang diterimanya adalah bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bersyukur kepada kedua orang tuanya.

[3] Allah adalah Rabb manusia yang membina dan mendidik manusia di atas manhaj-Nya, maka Allah lah yang berhak untuk diagungkan dan dicintai. Demikian juga kedua orang tua yang telah mendidik kita sejak kecil, maka kita harus bersikap tawadlu' (merendahkan diri), tauqiir (menghormati), ta'addub (beradab) dan talattuf (berlaku lemah lembut) dengan perkataan dan perbuatan kepada keduanya.

Inilah hikmah kenapa di dalam Al-Qur'an Allah menyebutkan tentang berbakti kepada Allah kemudian diiringi dengan berbakti kepada kedua orang tua. [Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadush Shalihin I hal.391, ta'lif Syaikh Salim bin 'Id Al-Hilaly]


[Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, terbitan Darul Qolam - Jakarta.]

Mana Dosa Yang Lebih Besar : Atheisme atau Syirik?


Pertanyaan : Mana dosa yang lebih besar, atheisme (tidak mengakui adanya Tuhan) atau syirik (menyekutukan Allah)?

Jawaban : Alhamdulillaah.
Ateisme, dalam terminologi modern, berarti menyangkal pencipta sama sekali, menyangkal bahwa Ia ada dan tidak mengakui Dia, ‘Azza wa Jalla. Alam semesta dan segala sesuatu di dalamnya, sesuai dengan klaim mereka, datang murni secara kebetulan. Ini adalah pandangan aneh yang bertentangan dengan sifat fitrah manusia, akal dan logika, dan bertentangan dengan logika sederhana dan fakta-fakta yang tak terbantahkan.
Adapun syirik (Politeisme atau menyekutukan sesuatu dengan selain Allah), itu berarti keyakinan kepada Allah Ta’ala, dan penegasan tentang-Nya, tetapi juga ada keyakinan kepada sekutunya dalam penciptaan-Nya, yang menciptakan atau memberikan rezeki atau membawa manfaat atau menolak kerusakan. Maka ini adalah syirik dalam al-rububiyyah (menyekutukan Allah dalam ketuhanannya). Atau itu bermakna percaya kepada sesuatu selain Allah di mana ibadah ditujukan kepadanya sebagai tindakan cinta dan dan penghormatan, ibadah tersebut ditujukan kepada sesuatu selain Allah yang (seharusnya, -pent) hal tersebut ditujukan kepada Allah Ta’ala. Maka ini adalah syirik al-’ibaadah (menyekutukan sesuatu selain Allah dalam ibadah). Dengan mempelajari kedua penyimpangan ini, kita dapat melihat bahwa masing-masing melibatkan dosa dan kejahatan yang menjelaskan kepada kita bahwa mereka (adalah orang yang, -pent) buruk dan kita melihat bagaimana Allah menggambarkan mereka sebagai seperti binatang bodoh.

Allah berfirman:

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” [QS al-Furqaan 25:43-44]

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” [QS al-A’raaf 7:179]

Namun demikian, ateis yang menyangkal keberadaan Allah dan menolak Rasul-Nya dan tidak percaya dengan hari akhir, dalam keadaan yang lebih besar dari kekufuran dan keyakinannya lebih tercela daripada orang yang percaya kepada Allah dan akhirat, tapi ia mengaitkan sesuatu ciptaan-Nya dengan dia. Yang pertama keras kepala dan sombong sampai tingkat yang tidak dapat dibayangkan atau diterima oleh fitrah manusia. Orang seperti itu akan melanggar setiap batas dan jatuh ke dalam setiap dosa. Pandangannya tentang dunia akan menyimpang ke tingkat yang tak terbayangkan. Akan tetapi banyak pakar yang membahas masalah ateisme meragukan bahwa keyakinan ini memiliki akar di dalam hati ateis, dan mereka menegaskan bahwa ateis hanya mengaku ateisme secara lahiriah, dalam hati yang dalam ia percaya pada satu Tuhan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata banyak dalil menunjukkan bahwa kelompok ateis yang menyangkal dan menolak keberadaan Tuhan dalam keadaan yang kekufuran yang lebih buruk daripada musyrikin yang menyekutukan Allah. Kami kutip sebagian dari apa yang kita temui,

Beliau (Ibnu Taimiyah, -pent) berkata :
Kekufuran (kekafiran) berarti tidak percaya kepada Allah dan Rasul Nya, apakah itu menolak atau ragu dan tidak yakin tentang salah satu masalah (akidah, -pent) atau mengabaikan seluruh masalah (akidah, -pent) sama sekali, karena iri hati atau kesombongan atau mengikuti hawa nafsu dan syahwat mengalihkan orang dari mengikuti pesan (akidah yang benar, -pent). Namun, kafir yang menolak karena tidak percaya adalah dalam keadaan kekufuran yang lebih besar, meskipun orang yang menolak dan menyangkal karena iri hati, meskipun ia percaya bahwa para rasul membawa pesan kebenaran, juga dalam keadaan kekufuran.
Majmu’ al-Fataawa, 17/291

Beliau (Ibnu Taimiyah, -pent) juga berkata :
Seseorang yang menyangkal akhirat tetapi percaya bahwa alam semesta ini diciptakan, dijelaskan oleh Allah sebagai orang kafir. Seseorang yang menyangkal penciptaan itu, dan mengatakan bahwa alam semesta ini ada dari kekekalan adalah kafir yang lebih buruk di mata Allah Ta’ala.
Majmu’ al-Fataawa, 17/291

Beliau(Ibnu Taimiyah) membantah orang yang menolak tentang ketuhanan:
(Menyangkal ketuhanan) menyiratkan penyangkalan lengkap yang mencapai titik yang mengatakan: tidak ada yang harus ada dan tidak bisa tidak ada. Jika dia percaya hal tersebut dan berkata: Aku tidak menegaskan keberadaan atau ketidakberadaan, maka jawabannya adalah: Misalkan Anda menyatakan hal tersebut secara lisan dan di dalam hatimu bahwa Anda tidak percaya salah satu dari dua hal tersebut (bahwa Allah ada atau tidak ada), bahkan Anda berpaling dari mengenal Allah dan menyembah dan mengingat Dia, sehingga Anda tidak pernah ingat Dia, menyembah Dia, berdo’a kepadanya, meletakkan harapan Anda kepada-Nya, atau takut kepada-Nya, maka dalam kasus) ini penyangkalan Anda kepada (keberadaan) Dia lebih buruk daripada Iblis yang (setidaknya) mengakuin-Nya..
Majmu’ al-Fataawa, 5/356.

Dan beliau (Ibnu Taimiyah) berkata :
Yang sombong adalah orang yang tidak mengakui Allah secara lahiriah, seperti Firaun. Dia adalah dalam keadaan yang lebih buruk dari kekufuran mereka (musyrikin Arab). Iblis, yang bekerjasama dalam semua itu dan menyukainya (kekufuran tersebut, -pent) dan terlalu sombong untuk menyembah Allah dan mentaatinya, adalah dalam keadaan yang lebih buruk dari kekufuran mereka (musyrikin), meskipun ia menyadari keberadaan dan kekuasaan Allah, sama seperti Firaun juga menyadari keberadaan Allah.
Majmu’ al-Fataawa, 7/633

Beliau (Ibnu Taimiyah) juga berkata:
Pandangan para filsuf –mereka yang mengatakan bahwa alam semesta kekal dan bergantung pada yang yang pasti harus ada– berasal dari pikiran dan hati orang-orang yang menyembah benda-benda dan membuat gambar mereka di bumi, seperti Aristoteles dan para pengikutnya.
Pandangan ini adalah kekufuran yang lebih buruk dan lebih sesat daripada musyrikin Arab yang percaya bahwa Allah menciptakan langit dan bumi dan segala sesuatu keduanya dalam enam hari oleh dengan keinginan dan kekuasaan, akan tetapi mereka (musyrikin arab) memperanakkan anak laki-laki dan anak perempuan kepada-Nya (rujuk Surah al-An’am 6:100) dan menyekutukan sesuatu dalam ibadah kepada Allah, yang tidak Dia berikan izin sedikit pun tentangnya (rujuk QS Ali Imran 3:151).
Demikian pula, orang-orang permisif, yang tidak percaya pada perintah atau larangan Allah sama sekali dan merujuk kepada “Kehendak Tuhan” dan keputusan sebagai alasan untuk perbuatan mereka yang jahat, lebih buruk daripada orang-orang Yahudi, Kristen dan Arab musyrikin, karena meskipun yang terakhir kafir, mereka masih percaya pada perintah dan larangan, dan janji dan peringatan (yaitu Akhirat), tetapi mereka menyekutukan Allah (dengan Tuhan-Tuhan palsu) yang dijadikan agama yang tidak Allah turunkan (rujuk QS Syuraa 42:21), tidak seperti orang-orang permisif yang mengabaikan semua aturan (Allah) sama sekali.
Mereka hanya senang dengan apa pun sesuai dengan keinginan dan hawa nafsu mereka, dan mereka marah karena keinginan dan hawa nafsu; mereka tidak ridho karena Allah, atau marah karensa Allah atau karena Allah, atau benci karena Allah; mereka menyuruh apa yang Allah telah perintahkan dan mereka tidak melarang apa yang Allah telah larang, kecuali yang sesuai dengan keinginan dan hawa nafsu mereka, di mana mereka melakukannya untuk tujuan itu (memenuhi hawa nafsu, -pent) dan bukan dalam ketaatan kepada Tuhan mereka.
Oleh karena itu mereka tidak menentang kekufuran, perbuatan jahat dan dosa kecuali jika hal itu bertentangan dengan keinginan dan hawa nafsu mereka, yang didorong oleh sifat mereka yang jahat dan bukan didorong oleh aturan dari Allah dan kecintaan kepada Allah. Maka setan menjerumuskan mereka lebih dalam ke dalam kesalahan, dan mereka tidak segera berhenti (rujuk QS al-A’raaf: 7:202), dan setan akan menunjukkan diri kepada mereka dan memenuhi keinginan dan hawa nafsu mereka, sebagai setan-setan pun membantu orang-orang yang musyrik dan menyembah berhala.
Majmu’ al-Fataawa, 8/457-458.

Syaikh Ibnu Baaz (rahimahullah) berkata:
Adalah syirik menyembah sesuatu selain Allah, apa pun itu, hal itu dapat disebut syirik atau kekufuran. Siapa pun yang berpaling dari Allah sama sekali dan mengarahkan ibadahnya kepada sesuatu selain Allah, seperti pohon, batu, berhala, jin, atau orang mati (yang dianggap shalih, – pent), orang-orang yang mereka sebut sebagai para wali, menyembah mereka atau berdoa kepada mereka atau puasa untuk mereka, dan melupakan Allah sama sekali – dan ini adalah jenis terburuk dari kekufuran dan syirik. Kita memohon keselamatan dan ampunan kepada Allah.
Hal yang sama berlaku untuk menyangkal keberadaan Allah dan mengatakan bahwa tak ada Allah dan hidup adalah materi, seperti komunis dan ateis yang menyangkal keberadaan Allah. Mereka adalah orang-orang kafir terburuk di antara manusia, paling hancur, yang paling paling terlibat dalam syirik dan paling sesat. Kami meminta kepada Allah keselamatan dan ampunan.
Majmu’ Fataawa Ibn Baaz, 4/32-33

Beliau (Syaikh bin Baaz rahimahullah) juga berkata :
Daging yang disembelih oleh komunis (baca: atheis, – red) adalah haram dan seperti daging dari Majusi dan penyembah berhala, bahkan daging mereka bahkan lebih haram, karena derajat kekufuran mereka lebih besar karena ateisme mereka dan penolakan mereka terhadap Sang Pencipta (Subhanahu wa Ta’ala) dan Rasul-Nya, dan berbagai jenis lainnya dari kekufuran mereka.
Majmu’ Fataawa Ibn Baaz, 23/30

Allahu A’lam.

Senin, 21 Januari 2013

Logika Profesor Hukum Vs Logika Al Qur`an

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Malam kemarin, 16 Oktober 2012, saya mengikuti sebagian diskusi di Indonesia Lawyers Club, TVOne. Topik utamanya tentang pemberian grasi presiden bagi para terpidana narkoba. Namun diskusi berkembang ke arah, perlu tidaknya hukuman mati berlaku dalam sistem peradilan Indonesia.


Seorang profesor pakar hukum, Prof. M. Laica Marzuki diminta pendapatnya tentang vonis mati. Dia mengatakan tidak setuju ada hukuman mati. Bukan hanya terhadap terdakwa kasus narkoba, tetapi dalam semua bentuk kejahatan yang terjadi; termasuk pada pembunuhan yang paling sadis sekali pun (seperti genocida). Pendapat ini didukung oleh Ifdhal Kasim, dari Komnas HAM. Sosok Fajroel Rahman juga seide dengan mereka. Ifdhal mengatakan, meskipun hukuman mati berlaku di Amerika, dalam hal ini bangsa Indonesia tidak harus meniru Amerika.

Landasan pemikiran Prof. Laica adalah UUD 1945, pasal 28, bagian I1. Bunyi lengkapnya sebagai berikut:
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Berdasarkan dalil hukum ini, maka manusia di Indonesia tidak boleh dicabut atau dikurangi hak hidupnya (dimatikan), dalam keadaan apapun. Termasuk jika dia melakukan kejahatan apapun. Begitu logika yang dikembangkan Prof. Laica. Dia tidak menampik hukuman berat bagi kasus narkoba, tetapi bentuknya bukan hukuman mati. Menurutnya, kalau diterapkan hukuman mati, berarti melanggar Konstitusi (UUD 1945).
Menurut saya, pandangan Prof. Laica terlalu TEKSTUALIS atau LITERAL. Seperti kalau seseorang melihat dengan “kacamata kuda”, tidak bisa belok-belok, tetapi harus lurus ke depan…selamanya.
Cara pandang demikian dalam khazanah fiqih Islam mirip dengan pandangan-pandangan kaum Zhahiri (pengikut Abu Dawud Azh Zhahiri rahimahullah). Jadi kesimpulan-kesimpulan hukum diambil melalui pemahaman secara literal terhadap teks-teks ayat atau hadits Nabi.

Beberapa catatan penting:
[1]. Pasal 28 UUD 1945 tentang HAM, salah satu tujuannya ialah menjaga kehidupan manusia. Menjaga kehidupan manusia itu bukan hanya bisa ditafsirkan dengan: meniadakan hukuman mati. Tetapi bisa juga ditafsirkan: mencegah terjadinya pembunuhan. Bukankah kita sama-sama tahu, bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati.
[2]. Adanya ancaman hukuman mati, akan membuat banyak manusia lebih menghargai kehidupan orang lain. Sebab vonis mati adalah hukuman terberat yang diterima manusia; jika ancaman itu ada, manusia akan berpikir 1000 kali sebelum membunuh orang lain. Jadi hukuman mati bisa bermakna “menakut-nakuti manusia” agar tidak membunuh.
[3]. Bagaimana mungkin akan tercapai keadilan, jika seorang pembunuh bisa hidup dan menikmati kehidupan (meskipun dalam penjara), padahal dia telah menimbulkan kematian bagi orang lain? Dimana letak keadilannya, sang pembunuh sudah melenyapkan nyawa orang lain? Bukankah nilai kehidupan korban pembunuhan sama mahalnya dengan nilai nyawa sang pembunuh? Meniadakan vonis mati sama dengan melestarikan kezhaliman, terutama dalam kasus-kasus penghilangan nyawa orang lain.
[4]. Adalah benar belaka bahwa kita harus menjaga kehidupan manusia, tetapi harus diingat, bahwa manusia itu bisa melenyapkan kehidupan orang lain. Dia bukan saja bisa dibunuh (melalui vonis mati), tetapi bisa juga membunuh orang lain (dengan segala alasannya). Maka posisi hukuman mati bukanlah untuk meremehkan nyawa si pembunuh, tetapi untuk mengakhiri kesempatan baginya untuk membunuh manusia yang lain (lagi). Kalau tidak dimatikan, dia bisa melakukan penghilangan nyawa kembali.
[5]. Pembunuh yang tidak dihukum mati, akan menimbulkan rasa dendam, frustasi, dan marah di pihak keluarga korban pembunuhan. Dendam itu belum akan tuntas, sebelum si pembunuh juga dibunuh. Dendam ini bisa memicu kekerasan dan konflik berkepanjangan antar keluarga dan anak-keturunannya. Artinya, meniadakan vonis mati sama dengan melestarikan kekerasan dan pembunuhan berkepanjangan.
2:179
Bagi kalian, dalam hukum qishash itu, ada kehidupan, wahai para Ulul Albaab, agar kalian bertakwa.” (Al Baqarah: 179).

Hukuman mati bagi para pembunuh (secara sengaja dan zhalim) adalah instrumen yang bisa memberi kehidupan bagi manusia. Pertama, ancaman sanksi mati akan membuat manusia berpikir 1000 kali sebelum membunuh orang lain. Jika dia membunuh, sanksinya akan dibunuh. Kedua, menjaga kehidupan tidak hanya ditafsirkan menjaga nyawa si pembunuh; tetapi ditafsirkan juga sebagai menghargai sangat mahal nyawa korban yang sudah dibunuh. Selagi nyawa dianggap murah, disana pembunuhan dan kekerasan akan merebak. Ketiga, memberikan hukuman mati kepada si pembunuh, hal itu akan menerbitkan keadilan dan menghentikan segala konflik, dendam, dan balas-membalas nyawa. Berarti ada lebih banyak nyawa yang bisa diselamatkan.

Demikian diskusi kecil ini. Kadang pemikiran seorang profesor tidak menyampaikan ke arah kebenaran (persepsi) dan keadilan (hukum). Islam telah mengajarkan timbangan-timbangan keadilan. Semoga kita memahami. Amin.

(Abah Syakir).

Selasa, 15 Januari 2013

Kategori : Konsultasi Wanita


CARA MENJALANI HIDUP MENJANDA


Redaksi Yth
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Bagaimana cara menjalani hidup menjanda menurut Islam bersama dengan dua anak yang tak diberi nafkah oleh bapaknya yang masih hidup?.
Ummu Abdullah


Jawab.
Kami berdoa semoga Anda selalu mendapatkan kekuatan dan kemudahan dari Allah k untuk mengarungi kehidupan bersama anak-anak sebagai single parent hingga berhasil membina mereka menjadi anak-anak yang shaleh shalehah. Amin.

Pertama-tama, kami ingin menekankan bahwa perceraian bagaimanapun tidak lepas dari takdir dan ketentuan Allah Azza wa Jalla. Sedih pasti ada. Mengingat rumah tangga yang didamba keutuhan dan kekokohan sendinya ternyata harus luluh-lantak di tengah jalan. Apa boleh buat. Ketabahan, ketegaran dan ridha itulah jawaban untuk menghadapi apa yang sedang Anda alami. Wallahul musta'ân (Hanya Allah Azza wa Jalla lah tempat memohon pertolongan).

Setelah kejadian tidak mengenakkan ini, cobalah lakukan introspeksi diri. Jangan melulu menyalahkan mantan suami atau pihak ketiga. Mungkin saja, Anda telah berbuat sesuatu yang menyumbang terjadinya keretakan rumah tangga, disamping apa yang dilakukan suami – dan pihak ketiga - menurut pengamatan Anda. Misalnya, tidak menjalankan salah satu hak suami Anda dengan sebaik-baiknya.

Introspeksi ini bisa menjadi salah satu faktor penenang hati, lantaran telah terbentuk kesadaran kalau kita juga kadang mau menangnya sendiri, berbuat salah tapi tidak menyadari, atau terlalu mengedepankan ego pribadi. Dengan begitu, kesalahan yang sama insya Allah Azza wa Jalla tidak terulang lagi di masa depan, apalagi bila Anda dimudahkan oleh Allah Azza wa Jalla mendapatkan pasangan hidup baru.

Menjadi janda itu sendiri bukanlah serta-merta sebuah aib. Mengingat, syariat memberi jalan suami istri yang mengalami kebuntuan dalam menjembatani konflik rumah tangga untuk bercerai yang nantinya mengakibatkan pihak wanita berstatus janda. Berbeda misalnya, bila perceraian dilakukan tanpa alasan-alasan jelas, ‘pokoknya pengen cerai’.., atau dalam rangka mempermainkan hukum talak dalam syariat Islam yang mulia. Maka, dalam konteks ini, Islam melarang. Sebab, perkawinan ditujukan untuk merealisasikan tujuan-tujuan luhur, seperti menjaga kelangsungan keturunan, membentuk suasana rumah tangga yang penuh dengan kasih dan sayang dll.

Pembicaraan tentang perceraian juga diketengahkan dalam dalam al-Qur`ân di beberapa ayat dalam surat al-Baqarah. Bahkan terdapat surat yang bernama ath-Thalâq (perceraian).

Sementara di tengah masyarakat memang berkembang tashawwur (pandangan) buruk pada seorang janda. Sebenarnya kemunculan imej buruk ini bukan murni karena status janda yang disandang, tapi lebih kerap disebabkan oleh sepak-terjang si wanita janda itu. Ia tidak menjaga diri dan memelihara kehormatannya, atau tampil kurang sopan saat bergaul dengan lawan jenis.

Menjanda akan menimbulkan dampak buruk ketika si wanita tidak menjaga diri, atau tidak memenuhi hukum-hukum yang termuat dalam ayat-ayat al-Qur`an tentang perceraian.

Allah Azza wa Jalla berfirman.

"Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri". [ath-Thalâq/65: 1]

Dalam ayat lain, Allah Azza wa Jalla berfirman:

"Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim".[al-Baqarah/2:229]

Jadi, hendaknya menjaga sikap selaku muslimah. Berpakaianlah sesuai dengan petunjuk syariat. Hindari hal-hal yang dapat mencoreng kehormatan, seperti sering keluar apalagi di waktu malam, umpamanya. Rumah adalah tempat terbaik bagi Anda. Kalau terpaksa bekerja di luar rumah, maka tidak boleh melanggar syari’at dan pilihlah jenis pekerjaan yang jauh dari campur-baur dengan lawan jenis.

Sehubungan dengan keengganan mantan suami untuk menafkahi anak-anaknya, itu merupakan problematika yang memang kerap dialami seorang ibu. Mantan suami sudah tidak mau lagi membiayai hidup anak-anak kandungnya yang ikut bersama ibu kandungnya. Atau menghilang entah kemana. Karena itu, kami mengingatkan Anda dengan perkataan Syaikh as-Sa'di rahimahullah dalam tafsir surat ath-Thalaaq :

"Karena perceraian kadang mengakibatkan terjadinya kesulitan, kesempitan hidup dan masalah, maka Allah Ta'ala memerintahkan agar bertakwa kepada-Nya. Dan Dia menjanjikan adanya jalan keluar bagi orang yang bertakwa".(Hal. 953).

Keterangan ini berlandaskan firman Allah Azza wa Jalla berikut ini yang tertera di sela-sela aturan-aturan talak (perceraian):

"Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya". [ath-Thalâq/65:2-3]

Perlu diingat bahwa Islam sendiri menetapkan bahwa kewajiban menafkahi anak pasca perceraian tetap berada di pundak ayahnya. Demikian juga nafkah istri yang masih dalam masa ‘iddah (masa menunggu selama tiga bulan) menjadi tanggungannya (suami). Masing-masing pihak, si lelaki dan mantan istrinya diminta untuk berbuat ma'ruf (baik). Sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dan dibebani oleh tugas-tugas yang bukan merupakan kewajibannya.

Manakala kewajiban menafkahi anak tak diberi perhatian, artinya si ayah telah berbuat zhalim kepada si anak, dan ibunya selaku pihak yang merawatnya.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memperingatkan :

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْماً أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوْتَهُ

"Adalah sudah menjadi dosa bagi seorang lelaki, menahan hak orang yang penghidupan orang tersebut ada di tangannya". [HR. Muslim no. 996]

Kezhaliman sangat berbahaya bagi pelakunya baik di dunia maupun di akhirat, sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengharamkan siapapun berbuat aniaya.

Kami sadar, kemungkinan rasa khawatir akan nafkah dan pendidikan menggelayuti perasaan dan hati Anda. Karena itu, yakinlah, Allah Azza wa Jalla tidak akan menyia-nyiakan hamba-hamba-Nya yang taat kepada-Nya.

Allah Azza wa Jalla berfirman tentang suami-istri yang terpaksa bercerai setelah setelah mengalami kebuntuan :

"Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana". [an-Nisâ/4:130]

Yakinlah pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala amat dekat dengan orang yang bertakwa dan senantiasa berserah diri kepada-Nya.

Sebenarnya Islam telah menggariskan aturan lengkap tentang pihak-pihak yang harus menanggung nafkah seorang wanita. Nafkah wanita yang tidak memiliki suami, baik belum atau pernah menikah adalah tanggung jawab orang tuanya (dan) atau kerabat ahli waris wanita tersebut. Dan mestinya, mereka juga tidak akan sampai hati menelantarkan anak-anak si wanita itu.

Sebagai penutup, kami berwasiat kepada seluruh suami bahwa tanggung jawab menafkahi anak-anaknya adalah kewajiban yang tidak gugur meski tali pernikahan putus dengan ibu mereka.. Jangan jadikan perceraian sebagai sarana permusuhan, kezhaliman dan pelanggaran syariat. Semoga dengan jawaban ini dapat memberikan pencerahan kepada kaum muslimin dan memberikan solusi kepada saudari penanya. Wabillahi taufiq. (Tim Ilmiah Majalah as-Sunnah)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Senin, 14 Januari 2013

Ayahmu tak bisa dibohongi….

sm - silo
kudengar tangisan lirih dari tengah ruang aula… ku pastikan dari mana datangnya, ternyata dari seorang sahabatku yang menahan tangisnya….. ku mencoba bangkit dari tempatku, menyusuri perlahan ruang aula masjid yang baru saja mendadak hening setelah semua alat penerangan di matikan.

sejenak aku amati apakah benar dia yang menangis lirih…. aku merasa heran, karena memang dia adalah orang yang selalu ada di garis terdepan dalam setiap aktivitas meskipun saat ini dia bekerja untuk ummat, namun masih tetap saja mampu menyediakan waktu untuk dakwah kemarin, hari ini dan insyaAllah esok.

kuperhatikan dengan seksama, lalu ku rebahkan badanku tepat disampingnya. aku dengarkan setiap lirih tangis yang sungguh luar biasa mengiris hati. ku coba beranikan diri untuk bertanya ” ada masalah apa akh..? tak biasanya antum sampai dalam kondisi seperti ini. menunggu agak lama memang untuk mendengar jawaban darinya, dan akhirnya dia menahan tangisnya dan berusaha berbicara… ” ane selalu kangen ibu, tapi ane sekarang kangen bapak… bapak yang luar biasa. “

akhirnya malam itu berlanjut dengan mendengarkan kisah heroik sang ayah….
bapak, bapakku hanya seorang supir pribadi yang gajinya tak lebih besar dari penghasilan seorang kernet angkot. untuk menutupi kebutuhan keluarga ibu juga bekerja ditempat yang sama sebagai pembantu rumah tangga. bayangkan dulunya bapak bekerja sebagai pembantu yang di ajarkan caranya menyetir….

sampai saat ini dengan lemahnya kondisi perekonomian keluarga, bapak sama mama sama sekali ngga pernah ngasih ane makanan dari yang haram…. ngga secuilpun. yang ada di otak mereka adalah bekerja dan terus bekerja untuk memperbaiki nasib anak-anaknya.

ane pernah diam akh, pas bapak bilang buat sekolah aja bapak harus jalan kaki sekitar 3 jam bust berangkat dan 3 jam buat pulang dari sekolah dengan berjalan kaki. bahkan ketika memang kemalaman pulang sekolah, dia nginep di sebuah perumahan tua di tengah gunung yang dihuni oleh janazah yang ketika malam memang tidak akan ada manusia yang ada disana. bukan untuk ngasih sajen akh tapi hanya untuk numpang tidur…. antum bisa bayangin,,,?

disaat ane beranjak dewasa, ane memang dapet beasiswa di sana-sini. bahkan sampai ke negeri JERMAN sana, tapi hanya satu yang membatalkan…. ucapan bapak… ” klo harus ke jerman lebih baik ga usah, nanti kalo sakit siapa yang ngurus.

memang ane terkesan dibesarkan dengan kemanjaan yang luar biasa, namun bapak mampu menanamkan kemandirian yang luar biasa namun tidak dengan ke egoisan. satu yang ane pelajarin dari dia akh… dia ga berilmu, sekolah cuma sampe es em pe… yang dia tau, bekerja sesuai ilmu yang dia punya, jujur, dan menghargai orang lain.

luar biasa memang. dan itu yang sangat ane tanamkan kuat dalam diri ini. disaat tuanya ane sempet terenyuh ketika dia langsung bilang ke ane… ” tolong ajarin bapak, kamu kan ustadz. tolong ajarin bapak ngaji… bapak mau bisa baca al qur’an kaya kamu ” mama ajarin juga yah…. pas bapak ngomong gitu ane seneng banget akh, ane langsung jalan ke toko buku beli buku iqro yang warna hitam edisi lengkap. sekalian tuh ane beli cd tahsin supaya bapak bisa belajar meskipun ane ga dirumah.

tahu ga akh…(dengan nada yang benar2 menyita perhatianku) ane pernah lalai sholat dan bapak yang ngingetin ane dengan gaya bercandanya, sambil pura2 bertanya dia berbicara ke ane…. ” kalo ga salah nabi pernah ngomong ya… kaga boleh nunda2 sholat…!” dan ketika itu juga kaga ngomong lagi, ane langsung lari ke tempst wudhu langsung sholat. memang ane takut banget kalo liat bapak ane marah.
kalo ga salah dalam seumur hidup ini ane baru ngeliat bapak marah itu sebanyak 5 kali. itu ketika memang ane bikin kesalahan yang bener2 fatal.

tak lama kemudian sayang al akh dengan bangga bilang ” jujur kah, bangga jadi anak pembantu dan supir,,, dan ane sama sekali ngga malu”
lalu menghentikan tangisnya dan memejamkan matanya….

benar2 sungguh luar biasa, tak jauh berbeda dengan sang ayah… sang anak pun selalu bergerak, bergerak tanpa henti meskipun ilmu yang dimiliki sangat jauh dari cukup. hanya saja, sang anak masih mampu memanage waktunya untuk dapat terus belajar, meskipun lebih sering belajar sendiri dari berbagai artikel, bahkan dari pembicaraan kawan2ku yang lain.

seorang anak pembantu yang meneruskan tongkat estafet sang ayah dalam meraih masa depan dan ridhoNya… doaku untuk mu ya akhi… jazakallah atas pengalamanmu.

Bagaimana kabar bapak dan emak ku disana ya…?
Oleh : Silo Indriyanto (Contributor)

Rabu, 09 Januari 2013

Jadikan Ia Bidadari Ayah

Ilustrasi
Ilustrasi

Kebahagiaan akan disadari oleh manusia, ketika ia mulai pergi…
“Horee ayah beli mobil baru, hore ayah beli mobil baru, horee…..” teriak Dina, bocah kecil berusia lima tahun itu berjingkrak-jingkrak kegirangan, kemudian ia melompat-lompat dan berlarian mengitari sebuah mobil tipe baru berwarna silver mengkilap yang terparkir di carport depan rumah yang cukup luas itu.

Sekali-kali ia memeluk mobil itu seperti memeluk boneka mainannya. Sementara sang istri duduk di depan kemudi mencoba menghidupkan dan mematikan mesin mobil itu sambil memperhatikan semua interior mobil dengan seksama, takut ada cacat sedikitpun barang yang ia terima, mumpung sang pengantar mobil masih ada di sini, menyerahkan tanda terima barang plus semua asesories mobil kepadanya.

Ya, hari itu sang suami berhasil memenuhi keinginannya untuk memiliki mobil sendiri, memang bukan mobil mewah tapi cukup bergengsi untuk dimiliki oleh pasangan muda seperti dirinya, mobil sedan toyota Vios tipe G, seharga dua ratus jutaan rupiah.
Rani, sang istri merasa bahagia sekali, sebab keinginannya untuk pergi bekerja membawa mobil sendiri terkabulkan sementara sang suami hanya tersenyum kecut mengingat cicilan yang akan dibayarnya beberapa bulan kedepan.

Sebenarnya Hadi, sang suami enggan untuk membeli mobil itu pada tahun-tahun ini, mengingat kebutuhan dan penghasilannya masih belum cukup untuk menyicil mobil baru, belum lagi ia harus mencicil rumah baru yang cukup luas yang dibelinya dua tahun lalu.

Tapi kecintaannya pada sang istri membuatnya mengambil keputusan itu, apapun resikonya. Ia memang sudah berjanji kepada istrinya tentang dua hal jika ingin menikahinya, rumah luas dan mobil dan janji itu sudah lunas ia tunaikan, meski ia harus menelan ludah dalam-dalam.

Hadi bersandar disamping pintu rumah, dari kejauhan matanya berbinar menatap kegembiraan anak dan istrinya, sesekali ia menarik nafas dan mendesah dalam-dalam, ia berusaha tersenyum saat istrinya melambai meminta komentar dirinya tentang mobil itu.

Senyum yang berat yang harus ia kulum, seberat janjinya kepada sang istri, seberat beban kehidupan rumahtangga yang ia tanggung sendiri.

Pikiran Hadi menerawang kembali ke masa silam, masa dimana ia bertemu dengan Rani, seorang gadis pujaan para mahasiswa kampusnya, yang ia sendiri tidak mengerti mengapa ia nekat memperistri sang primadona itu.

Perkenalan Rani dan Hadi terjadi ketika mereka sama-sama kuliah di jurusan dan fakultas yang sama di universitas terkenal di jakarta, keduanya pun melalui jalur masuk mahasiswa baru yang sama yakni PMDK.

Rani yang pintar dan cantik menjadi idola di kampusnya dan Hadi termasuk salah satu penggemarnya, meski hanya dalam hati. Bagi Hadi, mengingat Rani pada masa lalu, seperti mengingat sejarah masa silam yang tak mungkin bisa kembali, Rani yang dulu dikenal selama masa kuliah ternyata telah banyak berubah apalagi setelah lulus kuliah dan bekerja pada bank swasta nasional.

Dulu semasa kuliah Rani dikenal sebagai gadis bersahaja, tidak glamour dan tidak neko-neko. Ia supel dan mudah bergaul dengan siapa saja. Meski banyak pria yang jatuh cinta padanya, tapi tak satupun yang ia tanggapi, alasannya, ia tidak mau kisah cinta mengganggu kuliahnya, semua dianggap teman biasa saja.

Sikap Rani yang acuh terhadap asmara memang dilatar belakangi oleh kehidupan keluarganya yang amat sederhana bahkan bisa dibilang miskin sama seperti latar belakang dirinya, untuk itu Rani berniat kepada dirinya sendiri untuk tetap fokus pada kuliah dan karir, agar ia bisa menaikan taraf hidup keluarganya, bagi Rani kemiskinan harus menghilang dari kamus hidupnya, apapun caranya itu.

Karena sikap Rani yang cuek dan acuh itu, akhirnya banyak para pemuda yang mundur, hanya Hadi yang terus memantau, meski hanya dari jarak jauh.

Selepas kuliah dan telah mendapatkan pekerjaan tetap, Hadi memberanikan diri untuk mengkhitbah Rani, tapi Rani menolaknya, karena ia menginginkan cowok yang sudah mapan, bahkan tanpa tedeng aling-aling ia mengatakan bahwa calon suaminya harus sudah mempunyai rumah luas dan bermobil pula.

Akhirnya ia hanya minta waktu kepada Rani untuk mewujudkan semua itu dalam waktu tiga tahun. Tetapi Rani tetap enggan, hingga akhirnya Rani memilih calon lain yang sudah mapan, yakni seorang PNS pada departemen keuangan. Jadilah Hadi sedih bukan kepalang, ia hanya bisa meratapi nasibnya yang miskin dan papa.

Cinta yang disimpannya di sudut hati dan dirawatnya hingga mekar selama lima setengah tahun, kini layu bagai disiram air panas, menyisakan pedih dan perih, merontokkan mimpinya dan mengubur dalam-dalam angan dan khayalnya.

Perjuangan mempertahankan rasa cinta harus berakhir sebelum ia sanggup menahan beban kekalahan, sebelum ia sanggup menahan kekecewaan bahwa rencananya tidak semulus yang ia inginkan. Angannya yang terlalu tinggi ingin menikahi gadis pujaan membawanya terbang kealam mimpi yang menyakitkan.

Padahal, ia merasa yakin, kehidupan asmaranya akan diridhai Allah, karena ia tidak pernah melakukan perbuatan melanggar batas pergaulan lawan jenis, boro-boro bersentuhan tangan, menatap wajah perempuan saja ia tidak sanggup, apalagi berpacaran layaknya anak muda jaman sekarang. Haram, itulah yang terpatri dalam hatinya.

Semenjak ditolak Rani, Hadi mulai memperbaiki ibadahnya, mungkin kemarin ia merasa Allah belum berkenan memberikan rezeki kepadanya karena ibadahnya belum maksimal dan keikhlasannya belum terbukti, selama ini ia beribadah agar Allah mengijinkan ia menikah dengan Rani, begitu selalu doa yang ia panjatkan dalam setiap kesempatan, tapi kini hatinya mulai sadar, keikhlasan dirinya mulai menggumpal.

Ia tak lagi beribadah karena mengharapkan balasan, tapi semata-mata lilahi taala. Kini hatinya lebih tenang dan jiwanya lebih damai, ia pasrahkan jodohnya ke ilahi robbi, siapapun itu.
Dalam kepasrahan dan keikhlasan, Tuhan selalu mendengar doa hamba-hambanya, enam bulan setelah ia ditolak Rani, ternyata calon suaminya membatalkan pernikahan dengan Rani, tanpa alasan yang jelas, rumor yang ia dengar sang calon lebih memilih sekolah lagi di luar negeri atas biaya dinas dan dilarang menikah dahulu tanpa seijin atasannya.

Perasaan Hadi bingung mendengar kabar itu, apakah harus sedih atau gembira. Yang jelas, mendengar kabar itu menggumpalkan kembali butiran-butiran semangatnya yang sempat hancur berkeping-keping, merajutkan kembali remah-remah asmaranya kepada sang pujaan hati.

Esoknya, ia kembali mendatangi kediaman Rani dan bertemu dengan orangtuanya untuk melamar Rani. Orangtua Rani yang merasa malu atas pembatalan nikah sebelumnya, langsung menyetujuinnya, sedang Rani, meskipun setuju, ia masih tetap dengan syaratnya itu, yakni rumah cukup luas dan mobil, meski akhirnya bisa ia sanggupi enam tahun kemudian setelah pernikahan mereka.

Kini dengan hadirnya mobil sedan di garasi rumah itu, semua syarat istrinya telah ia penuhi, hatinya sangat bahagia meski semua itu ia penuhi dengan tetesan keringat dan darah, dengan luka dan airmata, dengan tebal muka dan pinggang patah-patah.

Bagaimana tidak, ia di-deadline oleh istrinya harus mengumpulkan uang ratusan juta dalam waktu lima tahun untuk mewujudkan semua itu. Ia terpaksa bekerja bagai mesin, pagi sampai malam, belum lagi mencari tambahan pada hari libur.

Kadang ia harus menebalkan muka untuk mencari hutangan untuk menutupi DP pembelian kedua asset itu yang nilainya pun tidak sedikit. Kadang harus bekerja sampai larut malam mencari sambilan mengerjakan proyek kecil-kecilan.

Pada tahun-tahun pertama ia tak perduli, tapi menginjak tahun keempat, ia mulai tidak kuat, semua energinya sudah terkuras habis, tapi hasil yang didapat belum seberapa. Nasib baik masih belum berpihak kepadanya.

Di saat gundah gulana seperti itu, pada saat keheningan malam memeluk erat sang waktu, bersamaan dengan saat Hadi pulang bekerja, Hadi hanya bisa duduk mematung di teras rumah, tak tega membangunkan istrinya yang telah lelap tertidur bersama sang bocah.

Sejumput kemudian ia melangkah menuju keran di pinggir carport dan mengambil wudhu untuk menghilangan kelelahan jiwa dan raganya, lalu ia sholat dua rakaat di teras rumah dan meneruskan dengan tangisan penuh harap kepada sang pencipta sampai ia tertidur di sajadahnya, begitu seterusnya yang ia lakukan setiap malam sampai azan subuh terdengar dan udara dingin menusuk-nusuk tulangnya, membangunkan dirinya yang terlelap di beranda rumah. Barulah kemudian ia membangunkan istrinya untuk menyiapkan sarapan pagi dan bersiap berangkat lagi, sang istri, hanya mengetahui bahwa suaminya pulang pagi karena sibuk mencari nafkah.

Demi cintanya pada sang istri, Hadi terpaksa bekerja siang malam tanpa henti, demi sebuah janji yang harus ditunaikan, ia relakan dirinya bersakit-sakitan, demi keutuhan keluarganya yang ia banggakan, terpaksa ia gadaikan separuh nafasnya demi kebahagiaan orang yang sangat dicintainya itu. Ia lakukan semuanya itu dengan ikhlas, demi sang bidadari pujaan hatinya.

Kehidupan mengalir mengikuti lekuk-lekuk sungai waktu, hanyut bersama cita-cita, mimpi dan angan-angan manusia. Dengan bermodalkan sebongkah harapan, bekal keimanan dan jala asa, mereka mengayuh bahtera rumah tangga menyelusuri sungai kehidupan itu, seraya berharap tiba ditujuan dengan selamat. Tapi takdir Allah jualah yang menentukan roda kehidupan mereka, tanpa seorang manusiapun yang sanggup mengetahuinya.

Karena bekerja terlalu keras, Hadi jatuh sakit, ia terserang lever akut, dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Dokter yang merawatnya hanya menyarankan agar ia mengikhlaskan semuanya, supaya penyakitnya tidak bertambah parah, ia paham apa maksud pernyataan dokter, sebab dokter tidak akan membohongi pasiennya yang tidak sanggup ia tangani.

Dalam lirih suara, hadi memanggil istrinya, yang tampak begitu terpukul akan kondisi hadi, ia hanya bisa menangis sesenggukan. “Rani sayangku” panggilnya, “ya sayang aku di sini di sampingmu..” jawab Rani, “dari hati yang paling dalam aku sangat mencintai kamu, aku sangat menyayangi kamu”, Hadi berbisik lemah, “ya sayangku aku tahu itu, cintamu padaku tak pernah aku ragukan” Hibur Rani, “izinkan aku bicara sebentar saja, aku khawatir jika aku menundanya aku tak bisa lagi berbicara denganmu.”

Kemudian, Hadi berkata dengan perkataan yang membuat tubuh Rani semakin tak berdaya, ia hampir kehilangan keseimbangan, tapi berusaha untuk mendengar lantunan suara suaminya yang semakin lirih, “Sayangku Rani, sejak pertama kali kita berjumpa, aku sudah menyisakan ruang kosong di sudut hatiku untuk dirimu, aku jaga jangan sampai ia terisi oleh yang lain, dan aku simpan rapat-rapat sampai aku yakin bahwa aku siap untuk melamar dirimu. Keyakinanku atas dirimu begitu kuat, kesabaranku menantimu begitu dalam, meski di tengah jalan aku sempat terluka karena rupanya aku hanya bertepuk sebelah tangan.”

Hadi berhenti sejenak, ia memperhatikan kelopak mata istrinya yang makin penuh dengan airmata, airmata penyesalan karena pernah menolak manusia yang begitu sabar dan telaten menyayanginya.

Hadi meneruskan ucapannya, “Tapi sayangku, ternyata Allah sangat sayang kepadaku, ia mengembalikanmu kepadaku diriku lagi, bahkan menjadikan dirimu belahan jiwaku hingga engkau bisa menemaniku di sini, di saat-terakhirku ini, sayangku, hanya satu permintaanku, aku ingin engkau menjadi bidadariku di dunia dan akhirat, meski aku tahu, setelah kepergianku, engkau bebas memilih kembali pangeranmu, memilih orang yang akan mendampingimu meneruskan sisa-sisa hidupmu.”

“Sayangku, tapi aku sudah sangat puas atas nikmat yang Allah berikan kepadaku selama ini, selama aku menjadi suamimu. Memilikimu merupakan anugerah terbesar dalam hidupku, maka demi menghargai anugrah itu akupun melakukan apapun demi kebahagiaanmu. Jika Allah berkehendak lain, percayalah itu sudah menjadi takdir antara kita dan aku tak pernah menyesal menikahimu.”

“Sayangku ketika lidah ini masih bisa berucap, maka aku berucap kepadamu, maafkanlah atas kesalahanku selama ini, maafkan aku yang memaksamu menjadi belahan jiwaku, meski aku tak bisa memenuhi harapan-harapanmu. Jangan kau sesali pernikahan kita, sebab aku bangga dengan apa yang telah kita lakukan bersama, jaga dan rawatlah baik-baik anak kita, sampaikan salam kepadanya bahwa ayah hanya pergi sebentar, menunggu kalian dipintu surgaNya nanti.”

Rani tak kuasa mendengar kelanjutan lirihan suara suaminya, rasa bersalah menusuk hatinya dalam-dalam, ia terlalu egois, ia terlalu naif, memaksakan beban kehidupan dirinya ditanggung suaminya sendiri, ia yang trauma terhadap kemiskinan, memaksakan kompensasinya ke orang yang begitu baik kepadanya, yang begitu sayang kepadanya, ia begitu otoriter.

Sebelum habis Hadi bicara, Rani sudah tak ingat apa-apa lagi, rasa sesal yang dalam ditambah rasa takut kehilangan membuat syaraf kesadarannya terlepas perlahan, ia pingsan di samping tubuh suaminya, yang makin lama suaranya makin tak terdengar, hanya suara “maafkan aku sayang, maafkan aku…, maafkan aku sayang…” yang muncul bergantian dengan kalimat tasbih, tahlil dan tahmid.

Terus berucap hingga hembusan nafas berhenti, dan jantung tak lagi berdetak. Hanya airmata terlihat mengalir dari kelopak mata sang suami, meski bibir tersenyum puas karena sudah memberikan yang terbaik untuk orang yang paling disayanginya.

Hampir dua jam Rani pingsan di sisi suaminya, yang kini telah menjadi jenazah. Saat ia terbangun, Rani belum menyadari, ia terus menangis seraya memohon maaf kepada suaminya atas sikapnya selama ini, sampai kedatangan dokter yang menyadarkan Rani bahwa suaminya telah pergi untuk selama-lamanya.

Nasi telah menjadi bubur, tetapi pintu maaf dari sang pencipta masih terbuka lebar. Rani yang telah menyadari bahwa kebahagiaan bukan hanya kekayaan, dan kemiskinan bukanlah suatu aib, kini perlahan mulai meluruskan jalan hidupnya, dan ia bertekad akan merawat anak semata wayangnya sendiri.

Empat puluh tahun kemudian di sebuah pusara yang masih basah, seorang wanita berjilbab masih tercenung di hadapan makam ibunya, perempuan itu, Dina, masih mendoakan ibu dan ayahnya agar dipertemukan kembali di surga.

Ia adalah harapan orangtuanya yang tersisa, yang melempangkan jalan pertemuan mereka kembali sebagai pasangan abadi, doa dari anak yang shaleh, yang menjadi pelipur lara kedua orang tuanya.

“Ya Allah ya Rabbi, ampuni kedua orang tua kami, dan kabulkan permintaan ibu yang sering ia ceritakan kepadaku, melanjutkan mendampingi ayah kami di surgaMu, dan jadikanlah ia bidadari ayahku, amin.”

Rojali Dahlan

Selasa, 08 Januari 2013

ANAK YATIM

Anak yatim adalah anak yang ditinggalkan mati ayahnya selagi ia belum mencapai umur balig. Dalam Islam, anak yatim memiliki kedudukan tersendiri. Mereka mendapat perhatian khusus dari Rasulullah saw. Ini tiada lain demi untuk menjaga kelangsungan hidupnya agar jangan sampai telantar hingga menjadi orang yang tidak bertanggung jawab.

Oleh karena itu, banyak sekali hadis yang menyatakan betapa mulianya orang yang mau memelihara anak yatim atau menyantuninya. Sayang, anjuran Beliau itu sampai kini belum begitu mendapat tanggapan yang positif dari masyarakat. Hanya sebagian kecil saja umat Islam yang mau memperhatikan anjuran itu. Hal ini semestinya tidak layak dilakukan umat Islam yang inti ajarannya banyak menganjurkan saling tolong sesama umat Islam dan bahkan selain umat Islam.

Ada beberapa cara berbuat baik kepada anak yatim:
1. Memberinya makan dan pakaian, serta menanggung kebutuhan-kebutuhan pokoknya.

2. Mengusap kepalanya serta menunjukkan kasih sayang kepadanya. Tindakan ini akan mempunyai pengaruh besar terhadap kejiwaan anak yatim. Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhu jika melihat anak yatim, beliau mengusap kepalanya dan memberinya sesuatu.

3. Membiayai sekolahnya, sebagaimana seseoang ingin menyekolahkan anaknya.

4. Mendidiknya dengan ikhlas, sebagaimana keikhlasanya dalam mendidik anak kandungnya sendiri.

5. Jika ia melakukan perbuatan yang mengharuskan di beri hukuman maka bersikap lemah-lembut dalam mendidiknya.

6. Bertakwa kepada Alloh dalam mengelola harta anak yatim, jika anak yatim itu mempunyai harta kekayaan. Jangan sampai hartanya di habiskan karena menginginkan agar anak yatim itu kelak tidak meminta hartanya kembali. Sebaliknya, hartanya harus di jaga, sehinga ketika ia telah dewasa, harta tersebut dikembalikan kepadanya.

7. Mengembangkan harta anak yatim dan bersikap ikhlas di dalamnya, sehingga hartanya tidak habis oleh zakat.

(berbagai sumber)
LAPORAN LPYPD DESEMBER 2012

"Banyak Pemimpin Negeri Ini yang Anak Yatim Piatu"

Foto: (dok okezone)
Foto: (dok okezone)
JAKARTA - Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf dan artis-artis ibu kota sahur bersama ratusan anak yatim piatu. Dede mengatakan anak yatim piatu bukan berarti tidak bisa menjadi pemimpin.

”Berapa banyak pemimpin negeri ini yang dulunya anak yatim. Tetapi karena semangat yang tinggi untuk mencapai cita-cita, mereka bisa berhasil. Saya sendiri adalah anak yatim,” kata Dede di tengah kemeriahan acara sahur bersama di Meruya, Jakarta Barat, Minggu (5/8/2012).

Kang Dede begitu sapaan akrabnya mengatakan anak-anak yatim dari Yayasan Nurul Jannah dan masyarakat Meruya Selatan dalam keadaan sesulit apapun tetap harus memasang cita-cita setinggi langit.

”Ayo, siapa diantara kalian yang bercita-cita menjadi presiden? Untuk meraih cita-cita tersebut kalian harus belajar giat. Tanpa belajar yang tekun dan giat, tidak mungkin meraih cita-cita,” tandasnya.

Usai berdialog dengan Ilham, Kang Dede mengajak seluruh anak yatim yang hadir untuk berdoa kepada Allah SWT agar cita-cita mereka tercapai dan memperoleh ridho dari-Nya.

”Kewajiban kita sebagai hamba Allah adalah berusaha. Kalian mengejar cita-cita, itu termasuk berusaha. Bagaimana hasilnya, kita serahkan kepada Allah,” ujarnya.

Kang Dede menambahkan, selain berusaha dengan rajin belajar, harus pula diiringi doa. ”Apalagi doa dari anak yatim dan orang yang berpuasa, pasti didengar Allah,” kata mantan artis laga ini, memotivasi anak-anak yatim.

Secara berkelakar, Kang Dede juga menceritakan perihal "riwayat” nama aslinya Yusuf Macan Effendi. Dia mengatakan nama tengahnya muncul karena ketika ibunya (artis senior Rahayu Effendi) mengandung dia, sang ibu ngidam anak macan.

”Coba kalau ngidam anak kucing, nama saya mungkin jadi Yusuf Meong Effendi,” cetus Kang Dede, disambut gelak tawa anak-anak.

Dalam event tahunan bertajuk Cinta Ramadan itu, hadir pula artis cilik Umay dan Abai, Jane Shalimar, Ika Putri, Bling-bling dan kelompok vokal d’Rayu. Seperti Dede Yusuf, mereka juga berharap agar anak-anak yatim piatu tak perlu berkecil hati.

Masih banyak yang peduli pada nasib mereka, kendati kini sudah tak punya orang tua. Selepas santap sahur bersama, Dede Yusuf dan artis-artis ibu kota menunaikan salat subuh berjamaah. Acara dipungkasi dengan pemberian santunan untuk anak-anak yatim piatu.

Senin, 07 Januari 2013

Anak Yatim dan Hak Menerima Zakat

Bismillahirrahmaanirrahiim.

______________________________________________________________


Alhamdulillah, di masa dewasa ini kesadaran Ummat Islam untuk membayar Zakat semakin baik. Hal itu ditunjukkan dengan bukti semakin banyaknya jumlah Muzakki yang ingin menyalurkan Zakat, Infaq, Shadaqah (ZIS). Juga semakin banyaknya pertanyaan-pertanyaan seputar Zakat, semakin tumbuh lembaga-lembaga pengumpul dana ZIS, serta semakin beragamnya bentuk-bentuk pembiayaan melalui dana ZIS. Semua ini merupakan realitas yang patut disyukuri, alhamdulillah.

Di sebagian tempat, ada lembaga sosial yang memanfaatkan dana ZIS untuk menyantuni anak-anak yatim. Dana ini disalurkan dalam bentuk beasiswa sekolah, santunan sosial, dll. yang berkaitan dengan pemberdayaan anak-anak yatim kaum Muslimin. Namun kemudian muncul pemikiran kritis, “Dana Zakat tidak bisa diberikan untuk anak yatim, karena dalam Surat At Taubah ayat 60, tentang 8 golongan yang berhak menerima Zakat; disana tidak disebutkan anak yatim sebagai penerima Zakat.”

Pertanyaanya, benarkah anak yatim tidak boleh menerima Zakat? Bagaimana pandangan Islam tentang posisi anak yatim sebagai penerima Zakat? Bolehkah memanfaatkan dana Zakat untuk menyantuni, membina, dan memberdayakan anak yatim?

Disini kita akan coba membahas masalah ini secara runut, dengan merujuk pandangan Al Qur’an, As Sunnah, dan pandangan para ulama. Semoga Allah Ta’ala memberikan petunjuk, penerangan, serta barakah dari ilmu dan harta kita. Allahumma amin.
[1]. Dalam Surat At Taubah disebutkan ayat, yang artinya: “Bahwasanya Zakat itu diperuntukkan bagi kaum fakir, miskin, ‘amil Zakat (petugas pengurus Zakat), orang-orang yang dibujuk hatinya (atau muallaf), hamba sahaya, orang yang menanggung hutang, untuk keperluan Fi Sabilillah, dan para musafir yang berada dalam perjalanan. Hal demikian ini merupakan ketetapan yang wajib dari sisi Allah.” (At Taubah: 60). Inilah ayat yang dijadikan dalil, bahwa para penerima Zakat itu adalah 8 golongan. Haji Sulaiman Rasyid membahas golongan-golongan ini dalam bukunya, Fiqh Islam hal. 200-205. Terbitan Sinar Baru, Bandung, 1987).
[2]. Zakat merupakan bagian dari Rukun Islam dan merupakan amanah Syariat Islam yang agung. Zakat sering disebutkan dalam Al Qur’an. Kita serung membaca ayat yang berbunyi kurang-lebih, “Aqimus shalah wa atuz zakah” (dirikan Shalat dan bayarlah Zakat); “Wa yuqimus shalata wa yu’tuz zakata” (dan dia mengerjakan Shalat dan membayar Zakat). Dengan demikian, kita harus bersungguh-sungguh dalam menunaikan amal Zakat ini. Salah satu bentuk kesungguhan ialah, harta dari Zakat harus diberikan kepada para Mustahik (penerima Zakat) secara tepat, tidak boleh dibelanjakan untuk hal-hal di luar hak Mustahik. Profesor Ali Tanthawi rahimahullah, seorang ulama ahli fiqih dan dai terkenal dari Syiria. Beliau pernah ditanya tentang dana Zakat yang dikumpulkan oleh suatu lembaga Islam, lalu digunakan untuk mndirikan tempat pelatihan menjahit bagi anak-anak perempuan Muslim. Dalam jawabannya, beliau tidak membenarkan ide itu. Beliau berkata, “Jadi, harta Zakat tidak boleh dipergunakan untuk membangun masjid, rumah sakit, atau tempat pelatihan, meski semua itu membawa manfaat bagi masyarakat dan masyarakat jelas-jelas membutuhkannya.” Kecuali, kata beliau, kalau Zakat itu sudah dibagikan ke fakir-miskin, lalu mereka sepakat mengumpulkan kembali harta itu untuk membangun pelatihan; maka yang seperti itu dibenarkan. (Fatwa-fatwa Populer Ali Thantawi, hal. 291-292. Solo, Penerbit Era Intermedia, November 1998). Pandangan seperti ini sangat berharga, karena menunjukkan sikap kehati-hatian (al ikhtiyat) dalam menjaga batas-batas hukum Islam.
[3]. Zakat dalam Islam terbagi dalam dua jenis, Zakat Maal (Zakat harta) dan Zakat Fithrah (Zakat jiwa). Zakat Maal diwajibkan bagi setiap Muslim yang memiliki kelebihan harta sehingga mencapai nishab, baik berupa harta pertanian, peternakan, perdagangan, emas-perak, usaha bisnis, dan lainnya yang wajib dizakati. Singkat kata, Zakat maal diwajibkan atas kaum Muslimin yang kaya. Sedangkan Zakat Fithrah diwajibkan atas seluruh kaum Muslimin, baik kaya atau miskin, baik orang dewasa atau anak-anak, baik laki-laki maupun wanita. Harta Zakat Maal disalurkan kepada 8 kelompok penerima Zakat, seperti disebut dalam Surat At Taubah ayat 60 di atas. Adapun Zakat Fithrah disalurkan hanya kepada fakir-miskin, dalam rangka menyambut Hari Raya ‘Ied. Jadi Zakat Fithrah tidak boleh diberikan ke kelompok di luar fakir-miskin. Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah mengatakan, “Di antara tuntunan Rasulullah adalah mengkhususkan kepada kaum miskin dalam peruntukan Zakat ini (maksudnya, Zakat Fithrah). Beliau tidak membagikannya kepada 8 golongan (ashnaf) secara rata dan tidak pula memerintahkan hal itu. Juga tak seorang pun di antara Shahabat-shahabatnya (maksudnya, Shahabat Nabi) yang melakukannya, serta tidak pula orang-orang sesudah mereka (maksudnya kalangan Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in).” (Zaadul Ma’ad, jilid I, hal. 504. Jakarta, Pustaka Al Kautsar, Februari 2008). Dengan demikian, kita harus bisa membedakan antara Zakat Fithrah dan Zakat Maal. Zakat Fithrah diwajibkan bagi setiap Muslim, termasuk fakir-miskin; kecuali jika seseorang benar-benar tidak memiliki harta untuk membayar Zakat Fithrah, maka hal itu dimaafkan. Dan Zakat Fithrah disalurkan hanya untuk fakir-miskin, di saat menjelang perayaan Hari Raya ‘Ied. Sedangkan Zakat Maal diwajibkan bagi kaum Muslim yang kaya, dan hasilnya dibagikan untuk 8 kelompok sosial.
[4]. Ajaran Islam memberikan perhatian yang tinggi kepada anak YATIM. Banyak ayat-ayat Al Qur’an yang membahas posisi anak yatim ini. Dalam Al Qur’an disebutkan bentuk amal kebajikan, yaitu: “Wa atal maala ‘ala hubbihi dzawil qurba, wal yatama, wal masakini, wabnas sabili, was sa’ilina, wa fir riqaab” (dan memberikan harta itu kepada orang-orang yang dicintai dari karib-kerabat, kepada anak yatim, kepada kaum miskin, kepada musafir di perjalanan, kepada orang yang meminta-minta, dan kepada hamba sahaya. Surat Al Baqarah, ayat 177). Dalam ayat lain, “Wa yas-alunaka ‘anil yatama, qul ish-lahul lahum khairun” (dan mereka bertanya kepada tentang anak yatim, katakanlah: memperbaiki urusan mereka adalah lebih baik. Surat Al Baqarah, ayat 220). Dalam ayat lain, “Wa an taqumu lil yatama bil qis-thi” (dan –Allah memerintahkan- agar kalian memperlakukan anak yatim secara adil. Surat An Nisaa’, ayat 127). Bahkan dalam Surat Al Hasyr ayat 7 disebutkan, bahwa harta fa’i (rampasan dari musuh tanpa peperangan) diberikan kepada: Allah, Rasul-Nya, karib-kerabat, anak yatim, kaum miskin, dan ibnu sabil (musafir dalam perjalanan); dalam ayat itu juga dijelaskan bahwa pembagian ini dimaksudkan agar harta tidak hanya beredar pada orang-orang kaya di kalangan Ummat Islam saja. Dalam Surat An Nisaa’ ayat 10 disebutkan, orang-orang yang makan harta anak yatim secara zhalim, maka dia telah memenuhi perutnya dengan api neraka, dan kelak mereka akan masuk neraka sa’iir. Dalam Surat Al Fajr disebutkan, “Kalla bal laa tukrimunal yatim, wa laa tahad-dhuna ‘ala tha-amil miskin” (sungguh tidak demikian, akan tetapi kalian tidak memuliakan anak yatim dan tidak menganjurkan manusia memberi makan orang miskin. Surat Al Fajr, ayat 17-18). Dan sudah sangat dikenal, dalam Surat Al Ma’uun ayat 1-3, bahwa ciri pendusta agama adalah: menghardik anak yatim dan tidak memberi makan orang miskin. Imam Nawawi rahimahullah, dalam kitabnya yang terkenal, Riyadhus Shalihin menyebutkan sebuah bab tentang keutamaan bersikap lembut kepada anak yatim, kepada anak-anak perempuan, kaum fakir-miskin, dan sebagainya. Beliau menyebut hadits Nabi Saw, yang artinya: “Dari Sahal bin Sa’id Ra, dia berkata bahwa Rasulullah Saw telah bersabda, ‘Aku dan orang yang menanggung kehidupan anak yatim, kelak di syurga akan seperti ini,’ beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah beliau yang saling ditempelkan.” (HR. Bukhari). Kata Imam Nawawi, yang menanggung anak yatim maksudnya, mengurus keperluan-keperluan mereka secara baik. (Riyadhus Shalihin, hal. 66. Beirut, Daarul Fikri, 1994). Dapat disimpulkan, bahwa Islam sangat peduli dan pengasih kepada anak yatim, baik laki-laki maupun wanita, baik yang kaya maupun fakir-miskin. Rasulullah Saw adalah seorang yatim.
[5]. Lalu pertanyaannya, siapakah anak yatim itu? Secara umum, anak yatim adalah anak yang telah ditinggal wafat oleh ayahnya. Kalau ditinggal wafat oleh ibunya, tidak disebut anak yatim. Anak yatim termasuk golongan manusia yang lemah karena telah kehilangan pilar keluarga (qa’imul bait). Ketika menjelaskan istilah anak yatim, Syaikh Abdurrahman As Sa’diy rahimahullah, dalam tafsirnya mengatakan, “Anak yatim adalah mereka yang tidak memiliki penghasilan, dan mereka tidak memiliki kekuatan yang bisa menanggung kebutuhannya. Hal ini merupakan bukti rahmat Allah atas hamba-hamba-Nya, menjadi dalil bahwa Allah Ta’ala lebih pengasih kepada mereka daripada orangtua kepada anak-anaknya. Allah telah berwasiat kepada hamba-Nya dan mewajibkan sikap ihsan dalam urusan harta anak yatim, agar siapa yang telah kehilangan ayah-ayahnya, mereka diurus sedemikian rupa sehingga seperti tidak kehilangan mereka. Dan balasan atas amal seperti ini, maka siapa yang pengasih kepada anak yatim, maka anaknya akan dikasihi.” (Tafsir Karimir Rahman, hal. 76. Riyadh, Daarul Mughni, 1999). Ketika menafsirkan ayat yang sama, Imam Ibnu Katsir rahimahullah memberi penjelasan, “Anak yatim adalah mereka yang tidak memiliki penghasilan, telah wafat ayah mereka, sedangkan mereka dalam keadaan lemah, masih kecil, belum mencapai baligh, dan belum punya kemantapan dalam pekerjaan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim li Imam Ibnu Katsir, Jilid I, hal. 270. Takhrij hadits oleh Syaikh Hani Al Hajj. Kairo, Maktabah Taufiqiyyah, tanpa tahun). Jadi, anak yatim adalah anak yang telah ditinggal wafat oleh ayahnya, lalu dia kehilangan pilar keluarga yang menanggung dan mengurus kehidupannya.
[6]. Kemudian, sejauhmana batasan seorang anak disebut yatim? Sebab semua orang lambat atau cepat pasti akan ditinggal wafat oleh ayahnya. Apakah orang dewasa yang sudah berusia 40 tahun, lalu ditinggal wafat ayahnya, dia juga disebut yatim? Dalam Al Qur’an disebutkan ayat yang berbunyi, “Wab-talul yatama hatta idza balaghuu an nikah, fa in anastum minhum rusy-dan fad-fa’uu ilaihim amwalahum” (dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka mencapai usia nikah, dan jika menurut perkiraan kalian mereka sudah cerdas, maka kembalikanlah harta mereka –yang selama ini dititipkan kepada kalian -. Surat An Nisaa’, ayat 6). Imam Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat ini beliau berkata, “Menurut Mujahid, telah sampai usia nikah, maksudnya telah bermimpi (keluar sperma saat tidur). Mayoritas ulama mengatakan, mencapai usia baligh pada anak laki-laki ialah ketika dia bermimpi dalam tidurnya, sehingga keluar sperma. Atau telah mencapai usia 15 tahun, berdasarkan hadits dari Abdullah bin Umar Ra, bahwa dia berkata, ‘Aku menghadap Nabi Saw dalam perang Uhud, ketika itu usiaku 14 tahun, lalu Nabi tidak mengijinkanku ikut perang. Kemudian aku menghadap beliau dalam perang Khandaq, ketika usiaku 15 tahun, lalu beliau membolehkan aku.’ (HR. Bukhari-Muslim). Berkata Umar bin Abdul Aziz rahimahullah ketika disampaikan kepadanya hadits ini, “Perkara ini (usia 15 tahun) merupakan pembeda antara anak kecil dan orang dewasa.” (Tafsir Ibnu Katsir, jilid I, hal. 153. Kairo, Maktabah Taufiqiyyah). Ketika menjelaskan Surat An Nisaa’ ayat 6 di atas, tentang batasan telah mencapai usia nikah, berkata Sa’id bin Jubair Ra, “Telah menjadi shalih dalam urusan agama mereka, dan pandai menjaga hartanya.” Singkat kata, batasan anak yatim laki-laki ialah ketika sudah mencapai baligh, yaitu telah keluar sperma dari kemaluannya. Atau sudah mencapai usia 15 tahun. Adapun batasan anak yatim perempuan, ialah ketika dia sudah siap menikah, yaitu telah siap dari sisi kematangan agama dan siap mengatur hartanya sendiri. Hal ini sesuai konteks Surat An Nisaa’ ayat 1-10 yang memang membahas posisi anak yatim perempuan.
[7]. Pertanyaan intinya, apakah anak yatim berhak mendapatkan bagian dari Zakat? Maka sebelum dijawab pertanyaan ini, terlebih dulu harus dilihat keadaan anak yatim tersebut. Apakah dia termasuk anak yatim yang ditinggali banyak harta warisan oleh ayahnya, sehingga dengan harta itu bisa tercukupi kebutuhan materinya? Atau dia termasuk anak yatim yang fakir, miskin, muallaf, dalam perjalanan, menanggung hutang, dll. sesuai kriteria 8 kelompok penerima Zakat? Kalau dia termasuk anak yatim yang berkecukupan materi, tidak perlu diberi Zakat. Tetapi kalau dia termasuk anak yatim yang masuk 8 golongan penerima Zakat, SANGAT AFDHAL kalau mereka diberi bagian Zakat. Karena selain dia masuk 8 golongan, dia juga yatim. Perlakuan seperti ini ditujukan ialah untuk menyalurkan Zakat sesuai dengan sasaran yang dituju. Kita jangan menyalurkan Zakat kepada yang tidak berhak menerima; atau sebaliknya, menolak memberikan Zakat kepada sasaran yang justru sangat berhak menerima. Dalam Al Qur’an, “Innallaha ya’murukum an tu-addul amanati ila ahliha, wa idza hakamtum bainan naasi antahkumu bil ‘adl” (sesungguhnya Allah memerintahkan kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak, dan jika kalian menghukumi, hendaklah menghukumi secara adil. Surat An Nisaa’, ayat 58). Terkait pembagian Zakat ini, seorang ulama besar di Timur Tengah, Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan berkata, “Tidak boleh menetapkan Zakat kepada seorang wanita fakir, jika dia berada di bawah pembiayaan nafkah suaminya yang kaya; begitu juga tidak boleh diberikan Zakat kepada seorang fakir, kalau dia memiliki kerabat kaya yang memberi nafkah kepadanya; dimana mereka diberi kekayaan lewat nafkah itu daripada harus mengambil harta Zakat.” (Mulakhas Fiqhiy, jilid I, hal. 254. Riyadh, Daaru Ibnil Jauzi, tahun 2000). Menyimpulkan dari pendapat ini, maka anak yatim yang mewarisi banyak harta dari orangtuanya, atau dia berada dalam sebaik-baik pemeliharaan nafkah oleh kerabatnya, anak seperti itu tidak perlu menerima bagian dari Zakat.
[8]. Ada beberapa hadits Nabi Saw yang menjelaskan, bahwa anak-anak yatim berhak menerima bagian dari Zakat. Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri Ra, dia berkata, “Zainab Ra, isteri Ibnu Mas’ud Ra, datang kepada Nabi Saw, lalu bertanya, ‘Ya Rasulullah, engkau telah memerintahkan pada hari ini untuk bersedekah. Di sisiku ada beberapa perhiasan, milikku. Aku berniat bersedekah dengannya. Namun Ibnu Mas’ud (suami Zainab) menyatakan, bahwa dia dan putranya lebih berhak menerima sedekah itu dariku.’ Lalu Nabi Saw berkata, ‘Ibnu Mas’ud benar. Suamimu dan anakmu lebih berhak engkau bersedekah kepada mereka.’” (HR. Bukhari). Hadits ini disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab beliau, Bulughul Maram, bagian Kitab Zakat, no. 515. Hadits ini memberi hikmah, seorang isteri boleh bersedekah kepada keluarganya sendiri, jika mereka membutuhkan harta. Adapun seorang suami tidak boleh bersedekah kepada isterinya, sebab sudah MENJADI KEWAJIBAN bagi suami itu untuk menafkahi isteri dan anak-anaknya. Dalam hadits lain yang cukup panjang, Zainab Ra isteri Ibnu Mas’ud Ra, bermaksud memberikan sedekah. Lalu dia pergi ke rumah Rasulullah Saw. Kebetulan di rumah beliau sedang ada wanita yang ingin bertanya hal yang sama. Melalui Bilal Ra, Zainab dan wanita itu bertanya, “Atuj-ziu as shadaqah ‘anhuma ila azwajihima wa ‘ala aitamin fi hujurihima?” (bolehkah sedekah dari kedua wanita itu diberikan kepada suaminya atau anak yatim yang ada di rumahnya?). Maka kemudian Nabi Saw memberi jawaban, “Lahuma ajran, ajrul qarabah, wa ajrus shadaqah” (bagi kedua wanita itu dua pahala, pahala berbuat baik kepada keluarda terdekat, dan pahala sedekah). Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari-Muslim, disebutkan oleh Imam Al Munzhiri dalam Mukhtashar Shahih Muslim. Untuk memperjelas lagi, Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan berkata, “Dan di kitab As Shahih, disebutkan bahwa isteri Abdullah (maksudnya, Abdullah bin Mas’ud atau Ibnu Mas’ud Ra –pen.) bertanya kepada Nabi Saw, tentang anak saudaranya yang menjadi yatim dan hidup di rumahnya, apakah boleh memberikan zakat dia ke mereka? Lalu Nabi Saw menjawab, “Ya!” Kalau diperhatikan, hadits-hadits di atas saling berkaitan satu sama lain, saling melengkapi. Bisa jadi, kejadiannya satu, tetapi yang menceritakan berbeda-beda. Singkat kata, memberikan Zakat kepada anak-anak yatim yang membutuhkan, hal itu diperbolehkan oleh Nabi Saw. Termasuk anak yatim yang berada dalam pemeliharaan sebuah keluarga, boleh diberi Zakat oleh karib-kerabatnya.
[9]. Secara umum, ajaran Islam sangat peduli dengan nasib anak yatim, laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin. Jika anak yatim itu miskin, fakir, muallaf, dan sebagainya sehingga masuk kategori 8 kelompok yang berhak menerima Zakat; mereka sangat diutamakan untuk menerima Zakat. Namun jika mereka tergolong anak yatim yang kaya, berkecukupan, mendapat nafkah yang memadai dari kerabatnya, tetap berhak mendapat kemurahan dari kaum Muslimin. Tetapi bentuknya bukan materi, melainkan perhatian, kasih-sayang, kelembutan, serta perlindungan. Hal ini untuk merealisasikan sabda Nabi Saw, “Ana wa kafilul yatama fil jannah” (aku dan pemelihara anak yatim kelak berada –sangat dekat- di syurga. HR. Bukhari).
[10]. Lalu bagaimana dengan lembaga sosial Islam yang memanfaatkan dana Zakat untuk membangun sekolah, pesantren, panti asuhan, atau fasilitas pelatihan, yang semua itu diperuntukkan bagi anak-anak yatim? Jawabannya mudah, seperti yang dikatakan Syaikh Prof. Ali Tanthawi rahimahullah, dana Zakat tidak boleh dibuat untuk semua keperluan itu. Dana Zakat harus disalurkan kepada yang berhak, tidak boleh dibuat macam-macam. Kecuali, kalau dana sudah diserahkan, lalu orang-orang yang menerima Zakat itu sepakat untuk menggunakannya demi membangun sekolah, pesantren, panti asuhan, dll. Itu diperbolehkan. Syaratnya, dana Zakat harus sampai di tangan yang berhak dulu. Namun untuk membangun sekolah, pesantren, panti asuhan, dll. itu boleh menggunakan dana non Zakat, misalnya infak, sedekah, waqaf, hibah, hadiah, dll.
[11]. Di kalangan masyarakat ada sebuah pemikiran tentang anak yatim. Menurut mereka, “Anak-anak yatim itu cenderung nakal. Mereka selalu membuat masalah. Hal itu membuat hati kami jadi tidak tertarik untuk membantu anak yatim.” Bagaimana dengan pemikiran seperti ini? Harus dipahami dengan baik, bahwa kenakalan anak yatim itu merupakan AKIBAT dari sebuah keadaan. Ia tidak muncul begitu saja. Mereka nakal, karena kurang mendapat perhatian, kasih-sayang, perlindungan, serta pemenuhan nafkah dari ayahnya, karena sang ayah sudah meninggal. Hal ini malah semakin memperkuat pandangan, bahwa anak yatim sangat membutuhkan PERHATIAN lahir-batin. Tidak hanya pemberian materi saja. Seperti yang dikatakan oleh Syaikh As Sa’diy ketika menafsirkan Surat Al Baqarah ayat 177, “Maka Allah telah berwasiat kepada hamba-hamba-Nya, dan mewajibkan mereka bersikap ihsan dalam perkara harta anak yatim, agar siapa yang kehilangan ayah-ayah mereka diperlakukan sedemikian sehingga seperti siapa yang tidak kehilangan orangtuanya.” (Tafsir Karimis Rahman, hal. 72. Riyadh, Daarul Mughni, 1999). Seharusnya, perlakuan kita kepada anak yatim ialah memberikan kepedulian yang sepadan dengan kepedulian ayahnya kepada mereka, jika kita sanggup melakukannya. Bila perhatian itu kecil atau tidak memadai, sangat mungkin akibatnya akan muncul perilaku anak-anak yatim yang nakal. Semoga Allah Ta’ala melindungi dan membimbing anak-anak yatim kaum Muslimin sebaik-baiknya. Semoga pula Allah menolong kita untuk bersikap arif, bijak, dan pemurah kepada anak-anak yatim. Allahumma amin ya Arhama Rahimin.
Demikian pembahasan tematik dan runut tentang hak anak yatim untuk menerima Zakat. Disini kita bisa memetik beberapa hikmah di balik ketentuan Allah yang tidak mencantumkan secara tegas anak yatim ke dalam 8 golongan penerima Zakat, yaitu sebagai berikut:
[SATU]: anak yatim itu ada yang kaya, mewarisi harta banyak dari orangtuanya, atau mereka berada di bawah pemberian nafkah yang mencukupi dari kerabatnya. Dalam posisi demikian, anak yatim tidak perlu diberi bagian dari Zakat. [DUA]: bagi anak yatim yang miskin, fakir, muallaf, dalam perjalanan, dll. sesuai criteria 8 kelompok penerima Zakat, mereka lebih AFDHAL untuk menerima Zakat, karena selain membutuhkan, mereka juga yatim. [TIGA]: bagi semua anak yatim, baik miskin atau kaya, mereka berhak mendapat santunan BATIN dari kaum Muslimin, berupa sikap lembut, perhatian, kasih-sayang, perlindungan, dll. Hal itu sesuai perintah Nabi Saw untuk memperlakukan anak yatim dengan sebaik-baiknya. [EMPAT]: Secara umum, ajaran sangat peduli dengan nasib kaum yang menderita, khususnya dalam hal ini adalah nasib anak yatim. Maka tidak salah jika Islam disebut sebagai agama Rahmatan Lil ‘Alamiin.
Semoga tulisan ini bermanfaat, khususnya untuk mendukung program pemberdayaan kehidupan anak-anak yatim Muslim-Muslimah di Nusantara ini. Semoga Allah Ar Rahiim mengampuni diriku, memaafkan kesalahanku, serta meridhai sisa umurku. Semoga Allah senantiasa mengampuni dan merahmati kedua orangtuaku, anak-anak yatim kaum Muslimin, para penolong dan pemelihara anak yatim, isteri dan anak keturunanku, kakak-adikku, karib-kerabatku, para sahabatku, para guruku, para penolongku, kaum Mukminin-Mukminat, Muslimin-Muslimat, serta para Mujahidin yang ikhlas berjuang di jalan Allah Ta’ala sampai akhir zaman. Amin Allahumma amin. Wa shallallah ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in.  Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.
Wallahu A’lam bisshawaab.
[Abu Muhammad Al Nusantari].