Pagi yang cerah, ketika saya mendapat cerita ini dari seorang
sahabat. Cerita yg mencerahkan. Saya menahan air mata ketika membacanya,
juga menahan tawa. Saya tersenyum sambil meresapi isinya setelah
membaca, dan berharap kalian – wahai sahabatku – ikut tersenyum setelah
membacanya.
Yakinlah Sang Maha Penyayang selalu ada disetiap langkah mu
Di Dharmasraya, hiduplah seorang ibu penjual tempe.Tak ada pekerjaan
lain yang dapat dia lalukan sebagai penyambung hidup.Meski demikian,
nyaris tak pernah lahir keluhan dari bibirnya. Ia jalani hidup dengan
riang. “Jika tempe ini yang nanti mengantarku ke surga, kenapa aku harus
menyesalinya. ..” demikian dia selalu memaknai hidupnya.
Suatu pagi, setelah salat subuh, dia pun berkemas. Mengambil
keranjang bambu tempat tempe, dia berjalan ke dapur. Diambilnya
tempe-tempe yang dia letakkan di atas meja panjang. Tapi, deg! dadanya
gemuruh.Tempe yang akan dia jual, ternyata belum jadi. Masih berupa
kacang kedelai, sebagian berderai, belum disatukan ikatan-ikatan putih
kapas dari peragian.Tempe itu masih harus menunggu satu hari lagi untuk
jadi. Tubuhnya lemas. Dia bayangkan, hari ini pasti dia tidak akan
mendapatkan uang, untuk makan, dan modal membeli kacang kedelai, yang
akan dia olah kembali menjadi tempe.
Di tengah putus asa,terbersit harapan di dadanya. Dia tahu, jika
meminta kepada Allah, pasti tak akan ada yang mustahil. Maka, di
tengadahkan kepala, dia angkat tangan, dia baca doa. “Ya Allah, Engkau
tahu kesulitanku. Aku tahu Engkau pasti menyayangi hamba-Mu yang hina
ini.Bantulah aku ya Allah, jadikanlah kedelai ini menjadi tempe. Hanya
kepada-Mu kuserahkan nasibku…” Dalam hati, dia yakin, Allah akan
mengabulkan doanya.
Dengan tenang, dia tekan dan mampatkan daun pembungkus tempe. Dia
rasakan hangat yang menjalari daun itu. Proses peragian memang masih
berlangsung. Dadanya gemuruh. Dan pelan, dia buka daun pembungkus tempe.
Dan… dia kecewa. Tempe itu masih belum juga berubah. Kacang kedelainya
belum semua menyatu oleh kapas-kapas ragi putih. Tapi, dengan memaksa
senyum, dia berdiri. Diayakin, Allah pasti sedang “memproses” doanya.
Dan tempe itu pasti akan jadi.
Dia yakin, Allah tidak akan menyengsarakan hambanya yang setia
beribadah. Sambil meletakkan semua tempe setengah jadi itu ke dalam
keranjang,dia berdoa lagi. “Ya Allah, aku tahu tak pernah ada yang
mustahil bagi-Mu. Engkau Maha Tahu, bahwa tak ada yang bisa aku lakukan
selain berjualan tempe. Karena itu ya Allah, jadikanlah.Bantulah aku,
kabulkan doaku…”
Sebelum mengunci pintu dan berjalan menuju pasar, dia buka lagi daun
pembungkus tempe.Pasti telah jadi sekarang, batinnya. Dengan berdebar,
dia intip dari daun itu, dan… belum jadi. Kacang kedelai itu belum
sepenuhnya memutih. Tak ada perubahan apa pun atas ragian kacang kedelai
tersebut. “Keajaiban Tuhan akan datang… pasti,” yakinnya.
Dia pun berjalan ke pasar. Di sepanjang perjalanan itu, dia yakin,
“tangan” Tuhan tengah bekerja untuk mematangkan proses peragian atas
tempe-tempenya. Berkali-kali dia dia memanjatkan doa… berkali-kali dia
yakinkan diri, Allah pasti mengabulkan doanya.
Sampai di pasar, di tempat dia biasa berjualan, dia letakkan
keranjang-keranjang itu. “Pasti sekarang telah jadi tempe!” batinnya.
Dengan berdebar, dia buka daun pembungkus tempe itu, pelan-pelan. Dan…
dia terlonjak. Tempe itu masih tak ada perubahan. Masih sama seperti
ketika pertama kali dia buka di dapur tadi.
Air mata menitiki keriput pipinya. Kenapa doaku tidak dikabulkan?
Kenapa tempe ini tidak jadi? Apakah Tuhan ingin aku menderita? Apa
salahku? Demikian batinnya berkecamuk.
Dengan lemas, dia gelar tempe-tempe setengah jadi itu di atas plastik
yang telah dia sediakan. Tangannya lemas, tak ada keyakinan akan ada
yang mau membeli tempenya itu. Dan dia tiba-tiba merasa lapar…merasa
sendirian. Tuhan telah meninggalkan aku, batinnya.
Airmatanya kian menitik. Terbayang esok dia tak dapat berjualan… esok
dia pun tak akan dapat makan. Dilihatnya kesibukan pasar, orang yang
lalu lalang, dan “teman-temannya” sesama penjual tempe di sisi kanan
dagangannya yang mulai berkemas. Dianggukinya mereka yang pamit, karena
tempenya telah laku. Kesedihannya mulai memuncak. Diingatnya, tak pernah
dia mengalami kejadian ini. Tak pernah tempenya tak jadi. Tangisnya
kian keras. Dia merasa cobaan itu terasa berat…
Di tengah kesedihan itu, sebuah tepukan menyinggahi pundaknya. Dia
memalingkan wajah, seorang perempuan cantik, paro baya, tengah
tersenyum, memandangnya. “Maaf Ibu, apa ibu punya tempe yang setengah
jadi? Capek saya sejak pagi mencari-cari di pasar ini, tak ada yang
menjualnya. Ibu punya?”
Penjual tempe itu bengong. Terkesima. Tiba-tiba wajahnya pucat. Tanpa
menjawab pertanyaan si ibu cantik tadi, dia cepat menadahkan tangan.
“Ya Allah, saat ini aku tidak ingin tempe itu jadi. Jangan engkau
kabulkan doaku yang tadi. Biarkan sajalah tempe itu seperti tadi, jangan
jadikan tempe…” Lalu segera dia mengambil tempenya. Tapi, setengah
ragu, dia letakkan lagi. “jangan-jangan, sekarang sudah jadi tempe…”
“Bagaimana Bu? Apa ibu menjual tempe setengah jadi?” tanya perempuan itu lagi.
Kepanikan melandanya lagi. “Ya Allah.. bagaimana ini? Tolonglah ya
Allah, jangan jadikan tempe ya?” ucapnya berkali-kali. Dan dengan
gemetar, dia buka pelan-pelan daun pembungkus tempe itu. Dan apa yang
dia lihat, sahabat?? Di balik daun yang hangat itu, dia lihat tempe yang
masih sama. Belum jadi! “Alhamdulillah!” pekiknya, tanpa sadar. Segera
dia angsurkan tempe itu kepada si pembeli.
Sembari membungkus, dia pun bertanya kepada si ibu cantik itu. “Kok Ibu aneh ya, mencari tempe kok yang belum jadi?”
“Oohh, bukan begitu, Bu. Anak saya, si Shalauddin, yang kuliah S2 di Australia
ingin sekali makan tempe, asli buatan sini. Nah, agar bisa sampai sana belum busuk, saya pun mencari tempe yang belum jadi. Jadi, saat saya bawa besok, sampai sana masih layak dimakan. Oh ya, jadi semuanya berapa, Bu?”
ingin sekali makan tempe, asli buatan sini. Nah, agar bisa sampai sana belum busuk, saya pun mencari tempe yang belum jadi. Jadi, saat saya bawa besok, sampai sana masih layak dimakan. Oh ya, jadi semuanya berapa, Bu?”
Sahabat..selamat memaknai cerita ini…….
Sumber : catatan dari seseorang (Khidir Abu Fazila) di situs jejaring facebook
Tidak ada komentar:
Posting Komentar