Ilustrasi
Kebahagiaan akan disadari oleh manusia, ketika ia mulai pergi…
“Horee ayah beli mobil baru, hore ayah beli mobil baru, horee…..”
teriak Dina, bocah kecil berusia lima tahun itu berjingkrak-jingkrak
kegirangan, kemudian ia melompat-lompat dan berlarian mengitari sebuah
mobil tipe baru berwarna silver mengkilap yang terparkir di carport
depan rumah yang cukup luas itu.
Sekali-kali ia memeluk mobil itu seperti memeluk boneka mainannya.
Sementara sang istri duduk di depan kemudi mencoba menghidupkan dan
mematikan mesin mobil itu sambil memperhatikan semua interior mobil
dengan seksama, takut ada cacat sedikitpun barang yang ia terima,
mumpung sang pengantar mobil masih ada di sini, menyerahkan tanda terima
barang plus semua asesories mobil kepadanya.
Ya, hari itu sang suami berhasil memenuhi keinginannya untuk memiliki
mobil sendiri, memang bukan mobil mewah tapi cukup bergengsi untuk
dimiliki oleh pasangan muda seperti dirinya, mobil sedan toyota Vios
tipe G, seharga dua ratus jutaan rupiah.
Rani, sang istri merasa bahagia sekali, sebab keinginannya untuk
pergi bekerja membawa mobil sendiri terkabulkan sementara sang suami
hanya tersenyum kecut mengingat cicilan yang akan dibayarnya beberapa
bulan kedepan.
Sebenarnya Hadi, sang suami enggan untuk membeli mobil itu pada
tahun-tahun ini, mengingat kebutuhan dan penghasilannya masih belum
cukup untuk menyicil mobil baru, belum lagi ia harus mencicil rumah baru
yang cukup luas yang dibelinya dua tahun lalu.
Tapi kecintaannya pada sang istri membuatnya mengambil keputusan itu,
apapun resikonya. Ia memang sudah berjanji kepada istrinya tentang dua
hal jika ingin menikahinya, rumah luas dan mobil dan janji itu sudah
lunas ia tunaikan, meski ia harus menelan ludah dalam-dalam.
Hadi bersandar disamping pintu rumah, dari kejauhan matanya berbinar
menatap kegembiraan anak dan istrinya, sesekali ia menarik nafas dan
mendesah dalam-dalam, ia berusaha tersenyum saat istrinya melambai
meminta komentar dirinya tentang mobil itu.
Senyum yang berat yang harus ia kulum, seberat janjinya kepada sang
istri, seberat beban kehidupan rumahtangga yang ia tanggung sendiri.
Pikiran Hadi menerawang kembali ke masa silam, masa dimana ia bertemu
dengan Rani, seorang gadis pujaan para mahasiswa kampusnya, yang ia
sendiri tidak mengerti mengapa ia nekat memperistri sang primadona itu.
Perkenalan Rani dan Hadi terjadi ketika mereka sama-sama kuliah di
jurusan dan fakultas yang sama di universitas terkenal di jakarta,
keduanya pun melalui jalur masuk mahasiswa baru yang sama yakni PMDK.
Rani yang pintar dan cantik menjadi idola di kampusnya dan Hadi
termasuk salah satu penggemarnya, meski hanya dalam hati. Bagi Hadi,
mengingat Rani pada masa lalu, seperti mengingat sejarah masa silam yang
tak mungkin bisa kembali, Rani yang dulu dikenal selama masa kuliah
ternyata telah banyak berubah apalagi setelah lulus kuliah dan bekerja
pada bank swasta nasional.
Dulu semasa kuliah Rani dikenal sebagai gadis bersahaja, tidak
glamour dan tidak neko-neko. Ia supel dan mudah bergaul dengan siapa
saja. Meski banyak pria yang jatuh cinta padanya, tapi tak satupun yang
ia tanggapi, alasannya, ia tidak mau kisah cinta mengganggu kuliahnya,
semua dianggap teman biasa saja.
Sikap Rani yang acuh terhadap asmara memang dilatar belakangi oleh
kehidupan keluarganya yang amat sederhana bahkan bisa dibilang miskin
sama seperti latar belakang dirinya, untuk itu Rani berniat kepada
dirinya sendiri untuk tetap fokus pada kuliah dan karir, agar ia bisa
menaikan taraf hidup keluarganya, bagi Rani kemiskinan harus menghilang
dari kamus hidupnya, apapun caranya itu.
Karena sikap Rani yang cuek dan acuh itu, akhirnya banyak para pemuda
yang mundur, hanya Hadi yang terus memantau, meski hanya dari jarak
jauh.
Selepas kuliah dan telah mendapatkan pekerjaan tetap, Hadi
memberanikan diri untuk mengkhitbah Rani, tapi Rani menolaknya, karena
ia menginginkan cowok yang sudah mapan, bahkan tanpa tedeng aling-aling
ia mengatakan bahwa calon suaminya harus sudah mempunyai rumah luas dan
bermobil pula.
Akhirnya ia hanya minta waktu kepada Rani untuk mewujudkan semua itu
dalam waktu tiga tahun. Tetapi Rani tetap enggan, hingga akhirnya Rani
memilih calon lain yang sudah mapan, yakni seorang PNS pada departemen
keuangan. Jadilah Hadi sedih bukan kepalang, ia hanya bisa meratapi
nasibnya yang miskin dan papa.
Cinta yang disimpannya di sudut hati dan dirawatnya hingga mekar
selama lima setengah tahun, kini layu bagai disiram air panas,
menyisakan pedih dan perih, merontokkan mimpinya dan mengubur
dalam-dalam angan dan khayalnya.
Perjuangan mempertahankan rasa cinta harus berakhir sebelum ia
sanggup menahan beban kekalahan, sebelum ia sanggup menahan kekecewaan
bahwa rencananya tidak semulus yang ia inginkan. Angannya yang terlalu
tinggi ingin menikahi gadis pujaan membawanya terbang kealam mimpi yang
menyakitkan.
Padahal, ia merasa yakin, kehidupan asmaranya akan diridhai Allah,
karena ia tidak pernah melakukan perbuatan melanggar batas pergaulan
lawan jenis, boro-boro bersentuhan tangan, menatap wajah perempuan saja
ia tidak sanggup, apalagi berpacaran layaknya anak muda jaman sekarang.
Haram, itulah yang terpatri dalam hatinya.
Semenjak ditolak Rani, Hadi mulai memperbaiki ibadahnya, mungkin
kemarin ia merasa Allah belum berkenan memberikan rezeki kepadanya
karena ibadahnya belum maksimal dan keikhlasannya belum terbukti, selama
ini ia beribadah agar Allah mengijinkan ia menikah dengan Rani, begitu
selalu doa yang ia panjatkan dalam setiap kesempatan, tapi kini hatinya
mulai sadar, keikhlasan dirinya mulai menggumpal.
Ia tak lagi beribadah karena mengharapkan balasan, tapi semata-mata
lilahi taala. Kini hatinya lebih tenang dan jiwanya lebih damai, ia
pasrahkan jodohnya ke ilahi robbi, siapapun itu.
Dalam kepasrahan dan keikhlasan, Tuhan selalu mendengar doa
hamba-hambanya, enam bulan setelah ia ditolak Rani, ternyata calon
suaminya membatalkan pernikahan dengan Rani, tanpa alasan yang jelas,
rumor yang ia dengar sang calon lebih memilih sekolah lagi di luar
negeri atas biaya dinas dan dilarang menikah dahulu tanpa seijin
atasannya.
Perasaan Hadi bingung mendengar kabar itu, apakah harus sedih atau
gembira. Yang jelas, mendengar kabar itu menggumpalkan kembali
butiran-butiran semangatnya yang sempat hancur berkeping-keping,
merajutkan kembali remah-remah asmaranya kepada sang pujaan hati.
Esoknya, ia kembali mendatangi kediaman Rani dan bertemu dengan
orangtuanya untuk melamar Rani. Orangtua Rani yang merasa malu atas
pembatalan nikah sebelumnya, langsung menyetujuinnya, sedang Rani,
meskipun setuju, ia masih tetap dengan syaratnya itu, yakni rumah cukup
luas dan mobil, meski akhirnya bisa ia sanggupi enam tahun kemudian
setelah pernikahan mereka.
Kini dengan hadirnya mobil sedan di garasi rumah itu, semua syarat
istrinya telah ia penuhi, hatinya sangat bahagia meski semua itu ia
penuhi dengan tetesan keringat dan darah, dengan luka dan airmata,
dengan tebal muka dan pinggang patah-patah.
Bagaimana tidak, ia di-deadline oleh istrinya harus mengumpulkan uang
ratusan juta dalam waktu lima tahun untuk mewujudkan semua itu. Ia
terpaksa bekerja bagai mesin, pagi sampai malam, belum lagi mencari
tambahan pada hari libur.
Kadang ia harus menebalkan muka untuk mencari hutangan untuk menutupi
DP pembelian kedua asset itu yang nilainya pun tidak sedikit. Kadang
harus bekerja sampai larut malam mencari sambilan mengerjakan proyek
kecil-kecilan.
Pada tahun-tahun pertama ia tak perduli, tapi menginjak tahun
keempat, ia mulai tidak kuat, semua energinya sudah terkuras habis, tapi
hasil yang didapat belum seberapa. Nasib baik masih belum berpihak
kepadanya.
Di saat gundah gulana seperti itu, pada saat keheningan malam memeluk
erat sang waktu, bersamaan dengan saat Hadi pulang bekerja, Hadi hanya
bisa duduk mematung di teras rumah, tak tega membangunkan istrinya yang
telah lelap tertidur bersama sang bocah.
Sejumput kemudian ia melangkah menuju keran di pinggir carport dan
mengambil wudhu untuk menghilangan kelelahan jiwa dan raganya, lalu ia
sholat dua rakaat di teras rumah dan meneruskan dengan tangisan penuh
harap kepada sang pencipta sampai ia tertidur di sajadahnya, begitu
seterusnya yang ia lakukan setiap malam sampai azan subuh terdengar dan
udara dingin menusuk-nusuk tulangnya, membangunkan dirinya yang terlelap
di beranda rumah. Barulah kemudian ia membangunkan istrinya untuk
menyiapkan sarapan pagi dan bersiap berangkat lagi, sang istri, hanya
mengetahui bahwa suaminya pulang pagi karena sibuk mencari nafkah.
Demi cintanya pada sang istri, Hadi terpaksa bekerja siang malam
tanpa henti, demi sebuah janji yang harus ditunaikan, ia relakan dirinya
bersakit-sakitan, demi keutuhan keluarganya yang ia banggakan, terpaksa
ia gadaikan separuh nafasnya demi kebahagiaan orang yang sangat
dicintainya itu. Ia lakukan semuanya itu dengan ikhlas, demi sang
bidadari pujaan hatinya.
Kehidupan mengalir mengikuti lekuk-lekuk sungai waktu, hanyut bersama
cita-cita, mimpi dan angan-angan manusia. Dengan bermodalkan sebongkah
harapan, bekal keimanan dan jala asa, mereka mengayuh bahtera rumah
tangga menyelusuri sungai kehidupan itu, seraya berharap tiba ditujuan
dengan selamat. Tapi takdir Allah jualah yang menentukan roda kehidupan
mereka, tanpa seorang manusiapun yang sanggup mengetahuinya.
Karena bekerja terlalu keras, Hadi jatuh sakit, ia terserang lever
akut, dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Dokter yang merawatnya
hanya menyarankan agar ia mengikhlaskan semuanya, supaya penyakitnya
tidak bertambah parah, ia paham apa maksud pernyataan dokter, sebab
dokter tidak akan membohongi pasiennya yang tidak sanggup ia tangani.
Dalam lirih suara, hadi memanggil istrinya, yang tampak begitu
terpukul akan kondisi hadi, ia hanya bisa menangis sesenggukan. “Rani
sayangku” panggilnya, “ya sayang aku di sini di sampingmu..” jawab Rani,
“dari hati yang paling dalam aku sangat mencintai kamu, aku sangat
menyayangi kamu”, Hadi berbisik lemah, “ya sayangku aku tahu itu,
cintamu padaku tak pernah aku ragukan” Hibur Rani, “izinkan aku bicara
sebentar saja, aku khawatir jika aku menundanya aku tak bisa lagi
berbicara denganmu.”
Kemudian, Hadi berkata dengan perkataan yang membuat tubuh Rani
semakin tak berdaya, ia hampir kehilangan keseimbangan, tapi berusaha
untuk mendengar lantunan suara suaminya yang semakin lirih, “Sayangku
Rani, sejak pertama kali kita berjumpa, aku sudah menyisakan ruang
kosong di sudut hatiku untuk dirimu, aku jaga jangan sampai ia terisi
oleh yang lain, dan aku simpan rapat-rapat sampai aku yakin bahwa aku
siap untuk melamar dirimu. Keyakinanku atas dirimu begitu kuat,
kesabaranku menantimu begitu dalam, meski di tengah jalan aku sempat
terluka karena rupanya aku hanya bertepuk sebelah tangan.”
Hadi berhenti sejenak, ia memperhatikan kelopak mata istrinya yang
makin penuh dengan airmata, airmata penyesalan karena pernah menolak
manusia yang begitu sabar dan telaten menyayanginya.
Hadi meneruskan ucapannya, “Tapi sayangku, ternyata Allah sangat
sayang kepadaku, ia mengembalikanmu kepadaku diriku lagi, bahkan
menjadikan dirimu belahan jiwaku hingga engkau bisa menemaniku di sini,
di saat-terakhirku ini, sayangku, hanya satu permintaanku, aku ingin
engkau menjadi bidadariku di dunia dan akhirat, meski aku tahu, setelah
kepergianku, engkau bebas memilih kembali pangeranmu, memilih orang yang
akan mendampingimu meneruskan sisa-sisa hidupmu.”
“Sayangku, tapi aku sudah sangat puas atas nikmat yang Allah berikan
kepadaku selama ini, selama aku menjadi suamimu. Memilikimu merupakan
anugerah terbesar dalam hidupku, maka demi menghargai anugrah itu akupun
melakukan apapun demi kebahagiaanmu. Jika Allah berkehendak lain,
percayalah itu sudah menjadi takdir antara kita dan aku tak pernah
menyesal menikahimu.”
“Sayangku ketika lidah ini masih bisa berucap, maka aku berucap
kepadamu, maafkanlah atas kesalahanku selama ini, maafkan aku yang
memaksamu menjadi belahan jiwaku, meski aku tak bisa memenuhi
harapan-harapanmu. Jangan kau sesali pernikahan kita, sebab aku bangga
dengan apa yang telah kita lakukan bersama, jaga dan rawatlah baik-baik
anak kita, sampaikan salam kepadanya bahwa ayah hanya pergi sebentar,
menunggu kalian dipintu surgaNya nanti.”
Rani tak kuasa mendengar kelanjutan lirihan suara suaminya, rasa
bersalah menusuk hatinya dalam-dalam, ia terlalu egois, ia terlalu naif,
memaksakan beban kehidupan dirinya ditanggung suaminya sendiri, ia yang
trauma terhadap kemiskinan, memaksakan kompensasinya ke orang yang
begitu baik kepadanya, yang begitu sayang kepadanya, ia begitu otoriter.
Sebelum habis Hadi bicara, Rani sudah tak ingat apa-apa lagi, rasa
sesal yang dalam ditambah rasa takut kehilangan membuat syaraf
kesadarannya terlepas perlahan, ia pingsan di samping tubuh suaminya,
yang makin lama suaranya makin tak terdengar, hanya suara “maafkan aku
sayang, maafkan aku…, maafkan aku sayang…” yang muncul bergantian dengan
kalimat tasbih, tahlil dan tahmid.
Terus berucap hingga hembusan nafas berhenti, dan jantung tak lagi
berdetak. Hanya airmata terlihat mengalir dari kelopak mata sang suami,
meski bibir tersenyum puas karena sudah memberikan yang terbaik untuk
orang yang paling disayanginya.
Hampir dua jam Rani pingsan di sisi suaminya, yang kini telah menjadi
jenazah. Saat ia terbangun, Rani belum menyadari, ia terus menangis
seraya memohon maaf kepada suaminya atas sikapnya selama ini, sampai
kedatangan dokter yang menyadarkan Rani bahwa suaminya telah pergi untuk
selama-lamanya.
Nasi telah menjadi bubur, tetapi pintu maaf dari sang pencipta masih
terbuka lebar. Rani yang telah menyadari bahwa kebahagiaan bukan hanya
kekayaan, dan kemiskinan bukanlah suatu aib, kini perlahan mulai
meluruskan jalan hidupnya, dan ia bertekad akan merawat anak semata
wayangnya sendiri.
Empat puluh tahun kemudian di sebuah pusara yang masih basah, seorang
wanita berjilbab masih tercenung di hadapan makam ibunya, perempuan
itu, Dina, masih mendoakan ibu dan ayahnya agar dipertemukan kembali di
surga.
Ia adalah harapan orangtuanya yang tersisa, yang melempangkan jalan
pertemuan mereka kembali sebagai pasangan abadi, doa dari anak yang
shaleh, yang menjadi pelipur lara kedua orang tuanya.
“Ya Allah ya Rabbi, ampuni kedua orang tua kami, dan kabulkan
permintaan ibu yang sering ia ceritakan kepadaku, melanjutkan
mendampingi ayah kami di surgaMu, dan jadikanlah ia bidadari ayahku,
amin.”
Rojali Dahlan