Bismillahirrahmaanirrahiim.
Kalau membahas tema seperti ini, rasanya kita seperti kembali ke era
90-an lalu, dimana ketika itu muncul semarak dakwah seputar jilbab dan
menutup aurat. Pembahasan ini akhirnya mesti dimunculkan lagi, karena
telah terjadi konversi budaya yang sangat serius di
tengah masyarakat Muslim modern di Indonesia saat ini. Budaya jilbab,
menutup aurat, dan kesantunan wanita yang pernah semarak pada tahun
90-an hingga pertengahan 2000-an; kini telah berkeping-keping berganti
budaya pakaian seksi, pamer aurat, pergaulan bebas, narsisme,
westernisme, dll.
Jika ada kini seruan-seruan seputar jilbab, menutup aurat, atau hijab; rata-rata tendensinya bisnis, yaitu: jualan kerudung dan pakaian Muslimah.
Untuk tujuan bisnis itu lalu diadakan “festival hijab”, pagelaran mode
jilbab dan busana Muslimah, dibuat majalah life style “ala jilbab”,
digunakan ikon-ikon model dan selebritis, dan seterusnya. Tujuan
esensinya, mencari duit untuk membiayai gaya hidup modern yang memang mahal; dengan cover menghidupkan busana Syariat.
Bagi para pemerhati busana Muslimah di Indonesia, tidak bisa
melupakan peranan Ane Rufaidah; seorang mantan pragawati dan perancang
busana tersohor. Dialah yang mula pertama membelokkan haluan jilbab
Syar’i menjadi jilbab modis (life stylist).
Jika semula jilbab digunakan benar-benar untuk tujuan Syar’i; lalu di
tangan Ane Rufaidah, ia memiliki nilai pencitraan, pamer kecantikan,
serta bermegah-megah dengan aksesoris (sesuatu yang bukan missi
Syariat). Tentu saja, keberanian Ane Rufaidah lalu diikuti
yunior-yuniornya dalam me-modiste-kan pakaian Syar’i. Tidak aneh, jika KH. Rahmat Abdullah rahimahullah (mantan tokoh senior PKS), pernah mengkritik keras “sunnah” yang dirintis Ane Rufaidah itu.
Dalam sebuah riwayat, Nabi Saw bersabda: “Man sanna sunnatan saiyi’atan fa lahu itsmun ka mistli atsami man tabi’ahu wa laa yanqushu min atsamihim syai’a”
(siapa yang memulai sunnah keburukan, maka baginya dosa seperti
dosa-dosa orang yang mengikutinya dengan tidak mengurangi dosa mereka
sedikit pun). Tidak terbayang sebesar apa beban yang kelak akan dipikul
seseorang karena keberaniannya merintis jalan untuk menyingkirkan busana
Syariat, menjadikan busana modis (meskipun melanggar batas-batas Syariat).
Dulu di awal 90-an, kerudung Rabbani itu sangat kecil. Ia hanyalah sebuah toko kecil di gang, menyediakan keperluan-keperluan Muslimah. Letaknya di dekat Monumen Rakyat Jawa Barat,
kawasan Dipati Ukur Bandung. Kini ia sudah menjadi sebuah pabrikan
kerudung besar dan menjadi ikon kerudung kelas menengah. Dulu
orientasinya murni Syariat, kini murni bisnis. Dalam Ramadhan tahun
lalu, Rabbani mendapat liputan khusus dari sebuah acara feature
stasiun TV. Dalam acara itu owner Rabbani, seorang ibu-ibu, tidak
malu-malu mengklaim, bahwa kerudung Rabbani sengaja dibuat dengan aneka
model untuk mempercantik penampilan wanita; seorang wanita bisa memilih
kerudung yang sesuai warna kulit dan bentuk wajahnya.
Majalah Ummi dulu juga sangat selektif dalam
mencantumkan gambar Muslimah. Hanya gara-gara ada foto pengungsi
laki-laki yang kelihatan auratnya (paha) di atas air, hal itu sudah
mengundang protes. Orientasi Syariat mereka waktu itu sangat ketat.
Bukan sekali dua kali mereka membahas soal “hukum fotografi”. Tetapi
saat ini kalau melihat majalah itu, isinya banyak sekali iklan
wanita-wanita NARSIS, sambil memakai kerudung, busana Muslimah modis,
mukena, dll. Saya pernah mencermati beberapa edisi majalah itu
sekaligus; dalam setiap edisi setidaknya ada 25 halaman iklan
wanita-wanita NARSIS. Komitmen Syariat itu telah tersingkir jauh dengan
alasan: mencari duit untuk membiayai gaya hidup zaman modern yang semakin mahal. Demi membeli life style, apapun yang berharga di sisi kita (termasuk komitmen Syariat) dilego obralan, obralan.
Tingkah para pebisnis ini, mau tidak mau, suka tidak suka, lama-lama
jadi merusak Syariat. Alih-alih mereka akan menghidupkan ajaran Islam di
tengah masyarakat. Malah merusak agama itu sendiri. Nas’alullah al
‘afiyah fid dunya wal akhirah.
Dalam tulisan sederhana ini, insya Allah akan disampaikan hikmah maknawi
ketika ajaran Islam memerintahkan kaum wanita untuk menutup aurat.
Semoga kita bisa memetik sebaik-baik pelajaran. Amin Allahumma amin.
WANITA MAKHLUK LEMAH
Kita tentu sering mendengar ungkapan: “Bagaimanapun wanita itu adalah makhluk yang lemah.”
Kalimat ini merupakan kata kunci. Setiap orang bisa memaknai kalimat
ini sesuai perspektif masing-masing. Tetapi yang dimaksud disini, bahwa
kaum wanita rentan mengalami eksplotasi. Eksploitasi bisa datang dari
kaum laki-laki, juga bisa dari sesama wanita.
Di antara bentuk-bentuk eksploitasi yang sering menimpa kaum wanita, antara lain:
[a]. Mengalami pelecehan seksual; [b]. Mengalami kekerasan seksual (pemerkosaan hingga pembunuhan); [c]. Mengalami agressi kekaguman dari laki-laki yang menyukainya secara berlebihan; [d]. Dijebak untuk diambil keuntungan darinya, baik keuntungan materi maupun non materi; [e]. Menjadi komoditas bisnis (dijual tenaga, kecantikan, keseksian tubuh, kemampuan seksual, kehidupan, hingga organ tubuhnya); [f]. Menjadi obyek penindasan dan kesewenangan; [g]. Dijadikan alat untuk merusak moral masyarakat luas (seperti menjadi model pornografi); [h]. Eksploitasi fisik secara berlebihan dengan kompensasi upah sangat minim; dan lain-lain.
Hal-hal demikian sudah sering kita baca, dengar, atau lihat sendiri
dalam kehidupan masyarakat. Sering terjadi, semakin modern suatu
peradaban, semakin kejam karakternya kepada kaum wanita.
Kapan dan dimana saja ada kaum wanita, disana ada peluang
eksploitasi. Mengapa bisa demikian? Karena kaum wanita itu menarik di
mata laki-laki; sementara diri mereka sendiri lemah. Siapapun yang
memiliki daya tarik dan lemah, ia
sangat rentan dieksploitasi orang lain. Kalau ada yang memiliki daya
tarik, tetapi dia kuat; orang lain akan segan untuk mengganggu. Begitu
juga, kalau lemah tetapi tidak menarik; orang lain juga segan
mengganggu. Kaum wanita memiliki keduanya; diri mereka menarik,
sementara dari sisi kekuatan lemah.
Sebenarnya kaum laki-laki juga tidak lepas dari unsur kelemahan
seperti itu. Laki-laki juga bisa rentan ieksploitasi. Tetapi kaum
laki-laki memiliki kelebihan dibandingkan wanita, yaitu:
[1]. Secara fisik kuat dan mampu bergerak cepat; [2]. Berpikir logis, tidak mengandalkan perasaan. Bila terjadi insiden, cepat bertindak, bukan berteriak-teriak histeris; [3].
Secara fisik, kaum laki-laki tidak menarik bagi lawan jenisnya.
(Sebenarnya menarik juga, tetapi tidak “seheboh” gambaran kaum wanita di
mata laki-laki).
PROTEKSI OTOMATIK
Islam mengajarkan prinsip menutup aurat bagi kaum wanita ialah sebagai perlindungan dari ancaman eksploitasi.
Perlindungan ini bersifat melekat; dimanapun, kapanpun, dan dalam
keadaan apapun wanita itu berada. Karena perlindungan itu berupa pakaian yang dikenakan sang wanita yang memenuhi standar menutup aurat.
Esensi menutup aurat dalam Islam, ialah menutupi segala daya tarik
yang bisa membuat kaum laki-laki berlaku beringas kepada wanita.
Maknanya, menutupi keseksian diri, lekuk-lekuk tubuh, menutupi rambut,
leher, dada, kulit, dan lainnya sehingga kaum wanita akan merasa aman
dan terlindungan dimanapun dan kapanpun. Karena sebab-sebab yang memicu
munculnya sikap agressi sudah ditutupi sedemikian rupa.
Di sisi lain, pakaian Muslimah yang rapi akan memancarkan sifat
kewibawaan wanita. Mereka jadi tampak kharismatik, mulia, menimbulkan
rasa segan di hati orang-orang yang melihatnya. Para selebritis yang
biasanya pamer aurat, pamer paha, dada, dan seterusnya; saat mereka
memakai jilbab secara rapi, tiba-tiba terpancar sifat kemuliaannya.
Tidak heran jika banyak wanita yang tersangkut kasus hukum, mereka
berlindung di balik busana Muslimah, karena efek kharisma dan sifat
simpatik itu.
Setiap Muslimah memakai jilbab dan menutup aurat, maka dia akan mendapat perlindungan dari Allah, dari hukum Islam, serta dari kaum Muslimin.
Jika ada gangguan terhadap wanita berjilbab, maka kaum Muslimin akan
memberikan perlindungan tanpa terkecuali. Sedangkan tanpa memakai
jilbab, maka seorang wanita tidak mendapat jaminan perlindungan, kecuali
jika orang-orang yang ada di sekitarnya memiliki sifat pengasih dan
tergerak untuk melindunginya.
Inilah yang disebut sebagai “perlindungan otomatik” jika seseorang
memakai busana Islami. Sebaliknya, meskipun memakai jilbab, jika pakaian
yang dipakai sifatnya seksi; hal itu tidak akan melindungi seorang
wanita dari agressi.
Secara yuridis, di sebuah negara hukum, setiap manusia (termasuk
wanita) mendapat perlindungan legal dari perangkat-perangkat hukum yang
ada. Tetapi banyak laki-laki memandang remeh perlindungan hukum itu,
sehingga mereka berani melanggarnya. Berbeda dengan perlindungan
otomatik yang diberikan oleh Islam melalui pakaian Muslimah yang sesuai
Syariat; maka semua manusia akan cenderung menghargai seorang wanita
yang memakai jilbab dan menutup aurat secara baik; kecuali pihak-pihak
tertentu yang memang secara sengaja ingin berbuat kekerasan.
Pakaian Islami bagi wanita adalah sebentuk “perlindungan aktif” yang
melekat pada diri wanita yang memakainya. Faktanya, di Eropa banyak
masyarakat meributkan jilbab dan cadar. Mereka terus berpikir untuk
mencari sandaran hukum guna melarang jilbab dan cadar. Mengapa bisa
demikian? Karena adanya pakaian Islami itu otomatis memberi rasa aman
bagi para pemakainya; sedangkan dalam budaya Eropa kaum wanita umumnya
berpakaian bebas sehingga memungkinkan untuk dieksplotasi
sedalam-dalamnya.
ESENSI MENUTUP AURAT
Menutup aurat ialah menutup semua pintu-pintu yang akan menyebabkan
seorang wanita mendapatkan agressi dari lawan jenisnya (termasuk dari
sesama wanita juga). Menutup aurat tidak identik dengan “memakai
jilbab”, karena ternyata banyak wanita memakai jilbab, tetapi mereka
tetap memakai pakaian seksi yang sangat mengundang agressi. Begitu juga,
mentup aurat tidak identik dengan “menutupi rambut”, karena menutupi
rambut belum menjamin rasa aman bagi kaum wanita dari tindak kekerasan.
Salah besar bagi para aktivis Hijabers, para ahli mode dan perancang
busana, para model busana Muslimah yang menonjolkan gaya, kecantikan,
dan perilaku “centil”. Apa yang mereka lakukan tidak selaras dengan
amanah Syariat Islam untuk menjaga kaum wanita dari berbagai tindak
pelecehen, kekerasan, dan eksploitasi seksual. Meskipun berjilbab, jika
menonjolkan unsur penampilan dan kecantikan (bahkan keseksian), hal ini
tidak akan melindungi kaum wanita itu sendiri.
Dalam konsep pakaian Islami, ada istilah jilbab dan khimar. Jilbab
dalam arti sesungguhnya, bukanlah kerudung. Jilbab itu baju kurung dari
kepala sampai kaki. Ia mirip dengan “mukena terusan” yang menutupi tubuh
wanita dari atas sampai bawah. Di atas pakaian itu lalu dilapisi khimar
(kerudung) yang terulur dari kepala sampai dada. Apa yang kita kenal di
Indonesia sebagai kerudung, sebenarnya adalah khimar ini.
HIKMAH KEWAJIBAN SYARIAT
Sejauh berbicara tentang pakaian Muslimah yang menutup aurat, kita
tidak akan bisa melepaskan diri dari dalil-dalil utama yang sering
menjadi sandaran dalam hal ini. Di antaranya ialah sebagai berikut.
[a]. Surat An Nuur ayat 31: “Janganlah mereka (wanita-wanita beriman) menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang biasa nampak. Dan hendaklah mereka mengulurkan kerudung sampai ke dada mereka.” Dalam hadits Asma binti Abi Bakar Radhiyallahu ‘Anhuma dijelaskan, bahwa perhiasan yang boleh tampak itu adalah: muka dan telapak tangan. Penjelasan ini sangat populer.
[b]. Surat Al Ahzab ayat 59: “Hendaklah mereka (wanita-wanita beriman itu) mengulurkan jilbab-nya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian ini agar mereka lebih mudah dikenal, sehingga mereka tidak diganggu.” Dalam ayat ini jelas-jelas disebutkan “An yu’rafna fa laa yu’dzain” (agar mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak diganggu). Hal ini mengkonfirmasi apa yang tadi kita sebut sebagai “perlindungan otomatik”.
Syariat Islam telah mewajibkan kaum Muslimah memakai jilbab dan
menutup auratnya. Ia menjadi kewajiban yang pasti. Pertanyaannya,
mengapa Islam mewajibkan hal itu? Apakah tidak ada toleransi di
dalamnya?
Kewajiban mutlak dalam menutup aurat ini, tentu berlaku di ruang
publik; bukan di ruang privat kaum wanita (di rumah atau kamar
miliknya). Hal ini menandakan bahwa sifat lemah kaum wanita dari ancaman
agressi oleh pihak-pihak lain bersifat permanen, bahkan laten. Sehingga
Islam tidak memberi peluang timbulnya kezhaliman terhadap kaum wanita.
Fakta berbicara, di negara-negara yang kaum wanitanya memiliki budaya
menutup aurat secara rapi (seperti Saudi, Pakistan, Malaysia), resiko
terjadi kekerasan terhadap wanita relatif kecil.
Dalam Surat An Nuur 31 disebutkan sebuah toleransi: “Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali
kepada…pelayan-pelayan laki-laki (mereka) yang tidak mempunyai keinginan
(kepada wanita), atau anak-anak yang belum terpengaruh oleh pesona
aurat wanita.”
Keterangan ini menjadi penjelas, bahwa hukum menutup aurat dan
memakai jilbab, benar-benar untuk melindungi kaum wanita dari ancaman
agressi oleh pihak-pihak lain (terutama kaum laki-laki). Terhadap
laki-laki yang kehilangan nafsu birahinya kepada wanita; juga kepada
anak-anak yang belum terpengaruh jika melihat aurat wanita; boleh
menampakkan aurat. Tentunya masih dalam batas-batas kesopanan, bukan
menampakkan bagian-bagian paling sensitif dari tubuh wanita.
Demikianlah, bahwa Islam memberikan pengajaran yang sangat baik. Kaum
wanita adalah makhluk lemah, rentan mengalami eksploitasi. Maka busana
Muslimah yang menutup aurat secara baik, adalah sebentuk “perlindungan
otomatik” yang melekat bersama wanita, dimanapun dan kapanpun mereka
berada. Spesial, bagi s@rjana hukum atau siapa saja yang mengajarkan
nilai-nilai perlindungan hukum; mereka mesti memahami esensi nilai luhur
dari Syariat jilbab dan menutup aurat ini.
Semoga bermanfaat dan berterima di hati yang jernih dan tulus. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.
(Abinya Syakir).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar