Senin, 07 Januari 2013

Mengapa Wanita Mesti Menutup Aurat?

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Kalau membahas tema seperti ini, rasanya kita seperti kembali ke era 90-an lalu, dimana ketika itu muncul semarak dakwah seputar jilbab dan menutup aurat. Pembahasan ini akhirnya mesti dimunculkan lagi, karena telah terjadi konversi budaya yang sangat serius di tengah masyarakat Muslim modern di Indonesia saat ini. Budaya jilbab, menutup aurat, dan kesantunan wanita yang pernah semarak pada tahun 90-an hingga pertengahan 2000-an; kini telah berkeping-keping berganti budaya pakaian seksi, pamer aurat, pergaulan bebas, narsisme, westernisme, dll.

Jika ada kini seruan-seruan seputar jilbab, menutup aurat, atau hijab; rata-rata tendensinya bisnis, yaitu: jualan kerudung dan pakaian Muslimah. Untuk tujuan bisnis itu lalu diadakan “festival hijab”, pagelaran mode jilbab dan busana Muslimah, dibuat majalah life style “ala jilbab”, digunakan ikon-ikon model dan selebritis, dan seterusnya. Tujuan esensinya, mencari duit untuk membiayai gaya hidup modern yang memang mahal; dengan cover menghidupkan busana Syariat.


Bagi para pemerhati busana Muslimah di Indonesia, tidak bisa melupakan peranan Ane Rufaidah; seorang mantan pragawati dan perancang busana tersohor. Dialah yang mula pertama membelokkan haluan jilbab Syar’i menjadi jilbab modis (life stylist). Jika semula jilbab digunakan benar-benar untuk tujuan Syar’i; lalu di tangan Ane Rufaidah, ia memiliki nilai pencitraan, pamer kecantikan, serta bermegah-megah dengan aksesoris (sesuatu yang bukan missi Syariat). Tentu saja, keberanian Ane Rufaidah lalu diikuti yunior-yuniornya dalam me-modiste-kan pakaian Syar’i. Tidak aneh, jika KH. Rahmat Abdullah rahimahullah (mantan tokoh senior PKS), pernah mengkritik keras “sunnah” yang dirintis Ane Rufaidah itu.

Dalam sebuah riwayat, Nabi Saw bersabda: “Man sanna sunnatan saiyi’atan fa lahu itsmun ka mistli atsami man tabi’ahu wa laa yanqushu min atsamihim syai’a” (siapa yang memulai sunnah keburukan, maka baginya dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya dengan tidak mengurangi dosa mereka sedikit pun). Tidak terbayang sebesar apa beban yang kelak akan dipikul seseorang karena keberaniannya merintis jalan untuk menyingkirkan busana Syariat, menjadikan busana modis (meskipun melanggar batas-batas Syariat).

Dulu di awal 90-an, kerudung Rabbani itu sangat kecil. Ia hanyalah sebuah toko kecil di gang, menyediakan keperluan-keperluan Muslimah. Letaknya di dekat Monumen Rakyat Jawa Barat, kawasan Dipati Ukur Bandung. Kini ia sudah menjadi sebuah pabrikan kerudung besar dan menjadi ikon kerudung kelas menengah. Dulu orientasinya murni Syariat, kini murni bisnis. Dalam Ramadhan tahun lalu, Rabbani mendapat liputan khusus dari sebuah acara feature stasiun TV. Dalam acara itu owner Rabbani, seorang ibu-ibu, tidak malu-malu mengklaim, bahwa kerudung Rabbani sengaja dibuat dengan aneka model untuk mempercantik penampilan wanita; seorang wanita bisa memilih kerudung yang sesuai warna kulit dan bentuk wajahnya.

Majalah Ummi dulu juga sangat selektif dalam mencantumkan gambar Muslimah. Hanya gara-gara ada foto pengungsi laki-laki yang kelihatan auratnya (paha) di atas air, hal itu sudah mengundang protes. Orientasi Syariat mereka waktu itu sangat ketat. Bukan sekali dua kali mereka membahas soal “hukum fotografi”. Tetapi saat ini kalau melihat majalah itu, isinya banyak sekali iklan wanita-wanita NARSIS, sambil memakai kerudung, busana Muslimah modis, mukena, dll. Saya pernah mencermati beberapa edisi majalah itu sekaligus; dalam setiap edisi setidaknya ada 25 halaman iklan wanita-wanita NARSIS. Komitmen Syariat itu telah tersingkir jauh dengan alasan: mencari duit untuk membiayai gaya hidup zaman modern yang semakin mahal. Demi membeli life style, apapun yang berharga di sisi kita (termasuk komitmen Syariat) dilego obralan, obralan.

Tingkah para pebisnis ini, mau tidak mau, suka tidak suka, lama-lama jadi merusak Syariat. Alih-alih mereka akan menghidupkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Malah merusak agama itu sendiri. Nas’alullah al ‘afiyah fid dunya wal akhirah.
Dalam tulisan sederhana ini, insya Allah akan disampaikan hikmah maknawi ketika ajaran Islam memerintahkan kaum wanita untuk menutup aurat. Semoga kita bisa memetik sebaik-baik pelajaran. Amin Allahumma amin.

WANITA MAKHLUK LEMAH
Kita tentu sering mendengar ungkapan: “Bagaimanapun wanita itu adalah makhluk yang lemah.” Kalimat ini merupakan kata kunci. Setiap orang bisa memaknai kalimat ini sesuai perspektif masing-masing. Tetapi yang dimaksud disini, bahwa kaum wanita rentan mengalami eksplotasi. Eksploitasi bisa datang dari kaum laki-laki, juga bisa dari sesama wanita.

Di antara bentuk-bentuk eksploitasi yang sering menimpa kaum wanita, antara lain:
[a]. Mengalami pelecehan seksual; [b]. Mengalami kekerasan seksual (pemerkosaan hingga pembunuhan); [c]. Mengalami agressi kekaguman dari laki-laki yang menyukainya secara berlebihan; [d]. Dijebak untuk diambil keuntungan darinya, baik keuntungan materi maupun non materi; [e]. Menjadi komoditas bisnis (dijual tenaga, kecantikan, keseksian tubuh, kemampuan seksual, kehidupan, hingga organ tubuhnya); [f]. Menjadi obyek penindasan dan kesewenangan; [g]. Dijadikan alat untuk merusak moral masyarakat luas (seperti menjadi model pornografi); [h]. Eksploitasi fisik secara berlebihan dengan kompensasi upah sangat minim; dan lain-lain.

Hal-hal demikian sudah sering kita baca, dengar, atau lihat sendiri dalam kehidupan masyarakat. Sering terjadi, semakin modern suatu peradaban, semakin kejam karakternya kepada kaum wanita.

Kapan dan dimana saja ada kaum wanita, disana ada peluang eksploitasi. Mengapa bisa demikian? Karena kaum wanita itu menarik di mata laki-laki; sementara diri mereka sendiri lemah. Siapapun yang memiliki daya tarik dan lemah, ia sangat rentan dieksploitasi orang lain. Kalau ada yang memiliki daya tarik, tetapi dia kuat; orang lain akan segan untuk mengganggu. Begitu juga, kalau lemah tetapi tidak menarik; orang lain juga segan mengganggu. Kaum wanita memiliki keduanya; diri mereka menarik, sementara dari sisi kekuatan lemah.

Sebenarnya kaum laki-laki juga tidak lepas dari unsur kelemahan seperti itu. Laki-laki juga bisa rentan ieksploitasi. Tetapi kaum laki-laki memiliki kelebihan dibandingkan wanita, yaitu:
[1]. Secara fisik kuat dan mampu bergerak cepat; [2]. Berpikir logis, tidak mengandalkan perasaan. Bila terjadi insiden, cepat bertindak, bukan berteriak-teriak histeris; [3]. Secara fisik, kaum laki-laki tidak menarik bagi lawan jenisnya. (Sebenarnya menarik juga, tetapi tidak “seheboh” gambaran kaum wanita di mata laki-laki).

PROTEKSI OTOMATIK
Islam mengajarkan prinsip menutup aurat bagi kaum wanita ialah sebagai perlindungan dari ancaman eksploitasi. Perlindungan ini bersifat melekat; dimanapun, kapanpun, dan dalam keadaan apapun wanita itu berada. Karena perlindungan itu berupa pakaian yang dikenakan sang wanita yang memenuhi standar menutup aurat.

Esensi menutup aurat dalam Islam, ialah menutupi segala daya tarik yang bisa membuat kaum laki-laki berlaku beringas kepada wanita. Maknanya, menutupi keseksian diri, lekuk-lekuk tubuh, menutupi rambut, leher, dada, kulit, dan lainnya sehingga kaum wanita akan merasa aman dan terlindungan dimanapun dan kapanpun. Karena sebab-sebab yang memicu munculnya sikap agressi sudah ditutupi sedemikian rupa.

Di sisi lain, pakaian Muslimah yang rapi akan memancarkan sifat kewibawaan wanita. Mereka jadi tampak kharismatik, mulia, menimbulkan rasa segan di hati orang-orang yang melihatnya. Para selebritis yang biasanya pamer aurat, pamer paha, dada, dan seterusnya; saat mereka memakai jilbab secara rapi, tiba-tiba terpancar sifat kemuliaannya. Tidak heran jika banyak wanita yang tersangkut kasus hukum, mereka berlindung di balik busana Muslimah, karena efek kharisma dan sifat simpatik itu.

Setiap Muslimah memakai jilbab dan menutup aurat, maka dia akan mendapat perlindungan dari Allah, dari hukum Islam, serta dari kaum Muslimin. Jika ada gangguan terhadap wanita berjilbab, maka kaum Muslimin akan memberikan perlindungan tanpa terkecuali. Sedangkan tanpa memakai jilbab, maka seorang wanita tidak mendapat jaminan perlindungan, kecuali jika orang-orang yang ada di sekitarnya memiliki sifat pengasih dan tergerak untuk  melindunginya.

Inilah yang disebut sebagai “perlindungan otomatik” jika seseorang memakai busana Islami. Sebaliknya, meskipun memakai jilbab, jika pakaian yang dipakai sifatnya seksi; hal itu tidak akan melindungi seorang wanita dari agressi.

Secara yuridis, di sebuah negara hukum, setiap manusia (termasuk wanita) mendapat perlindungan legal dari perangkat-perangkat hukum yang ada. Tetapi banyak laki-laki memandang remeh perlindungan hukum itu, sehingga mereka berani melanggarnya. Berbeda dengan perlindungan otomatik yang diberikan oleh Islam melalui pakaian Muslimah yang sesuai Syariat; maka semua manusia akan cenderung menghargai seorang wanita yang memakai jilbab dan menutup aurat secara baik; kecuali pihak-pihak tertentu yang memang secara sengaja ingin berbuat kekerasan.

Pakaian Islami bagi wanita adalah sebentuk “perlindungan aktif” yang melekat pada diri wanita yang memakainya. Faktanya, di Eropa banyak masyarakat meributkan jilbab dan cadar. Mereka terus berpikir untuk mencari sandaran hukum guna melarang jilbab dan cadar. Mengapa bisa demikian? Karena adanya pakaian Islami itu otomatis memberi rasa aman bagi para pemakainya; sedangkan dalam budaya Eropa kaum wanita umumnya berpakaian bebas sehingga memungkinkan untuk dieksplotasi sedalam-dalamnya.

ESENSI MENUTUP AURAT
Menutup aurat ialah menutup semua pintu-pintu yang akan menyebabkan seorang wanita mendapatkan agressi dari lawan jenisnya (termasuk dari sesama wanita juga). Menutup aurat tidak identik dengan “memakai jilbab”, karena ternyata banyak wanita memakai jilbab, tetapi mereka tetap memakai pakaian seksi yang sangat mengundang agressi. Begitu juga, mentup aurat tidak identik dengan “menutupi rambut”, karena menutupi rambut belum menjamin rasa aman bagi kaum wanita dari tindak kekerasan.

Salah besar bagi para aktivis Hijabers, para ahli mode dan perancang busana, para model busana Muslimah yang menonjolkan gaya, kecantikan, dan perilaku “centil”. Apa yang mereka lakukan tidak selaras dengan amanah Syariat Islam untuk menjaga kaum wanita dari berbagai tindak pelecehen, kekerasan, dan eksploitasi seksual. Meskipun berjilbab, jika menonjolkan unsur penampilan dan kecantikan (bahkan keseksian), hal ini tidak akan melindungi kaum wanita itu sendiri.

Dalam konsep pakaian Islami, ada istilah jilbab dan khimar. Jilbab dalam arti sesungguhnya, bukanlah kerudung. Jilbab itu baju kurung dari kepala sampai kaki. Ia mirip dengan “mukena terusan” yang menutupi tubuh wanita dari atas sampai bawah. Di atas pakaian itu lalu dilapisi khimar (kerudung) yang terulur dari kepala sampai dada. Apa yang kita kenal di Indonesia sebagai kerudung, sebenarnya adalah khimar ini.

HIKMAH KEWAJIBAN SYARIAT
Sejauh berbicara tentang pakaian Muslimah yang menutup aurat, kita tidak akan bisa melepaskan diri dari dalil-dalil utama yang sering menjadi sandaran dalam hal ini. Di antaranya ialah sebagai berikut.
[a]. Surat An Nuur ayat 31: “Janganlah mereka (wanita-wanita beriman) menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang biasa nampak. Dan hendaklah mereka mengulurkan kerudung sampai ke dada mereka.” Dalam hadits Asma binti Abi Bakar Radhiyallahu ‘Anhuma dijelaskan, bahwa perhiasan yang boleh tampak itu adalah: muka dan telapak tangan. Penjelasan ini sangat populer.
[b]. Surat Al Ahzab ayat 59: “Hendaklah mereka (wanita-wanita beriman itu) mengulurkan jilbab-nya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian ini agar mereka lebih mudah dikenal, sehingga mereka tidak diganggu.” Dalam ayat ini jelas-jelas disebutkan “An yu’rafna fa laa yu’dzain” (agar mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak diganggu). Hal ini mengkonfirmasi apa yang tadi kita sebut sebagai “perlindungan otomatik”.
Syariat Islam telah mewajibkan kaum Muslimah memakai jilbab dan menutup auratnya. Ia menjadi kewajiban yang pasti. Pertanyaannya, mengapa Islam mewajibkan hal itu? Apakah tidak ada toleransi di dalamnya?

Kewajiban mutlak dalam menutup aurat ini, tentu berlaku di ruang publik; bukan di ruang privat kaum wanita (di rumah atau kamar miliknya). Hal ini menandakan bahwa sifat lemah kaum wanita dari ancaman agressi oleh pihak-pihak lain bersifat permanen, bahkan laten. Sehingga Islam tidak memberi peluang timbulnya kezhaliman terhadap kaum wanita. Fakta berbicara, di negara-negara yang kaum wanitanya memiliki budaya menutup aurat secara rapi (seperti Saudi, Pakistan, Malaysia), resiko terjadi kekerasan terhadap wanita relatif kecil.

Dalam Surat An Nuur 31 disebutkan sebuah toleransi: “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada…pelayan-pelayan laki-laki (mereka) yang tidak mempunyai keinginan (kepada wanita), atau anak-anak yang belum terpengaruh oleh pesona aurat wanita.”

Keterangan ini menjadi penjelas, bahwa hukum menutup aurat dan memakai jilbab, benar-benar untuk melindungi kaum wanita dari ancaman agressi oleh pihak-pihak lain (terutama kaum laki-laki). Terhadap laki-laki yang kehilangan nafsu birahinya kepada wanita; juga kepada anak-anak yang belum terpengaruh jika melihat aurat wanita; boleh menampakkan aurat. Tentunya masih dalam batas-batas kesopanan, bukan menampakkan bagian-bagian paling sensitif dari tubuh wanita.

Demikianlah, bahwa Islam memberikan pengajaran yang sangat baik. Kaum wanita adalah makhluk lemah, rentan mengalami eksploitasi. Maka busana Muslimah yang menutup aurat secara baik, adalah sebentuk “perlindungan otomatik” yang melekat bersama wanita, dimanapun dan kapanpun mereka berada. Spesial, bagi s@rjana hukum atau siapa saja yang mengajarkan nilai-nilai perlindungan hukum; mereka mesti memahami esensi nilai luhur dari Syariat jilbab dan menutup aurat ini.

Semoga bermanfaat dan berterima di hati yang jernih dan tulus. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

(Abinya Syakir).

Tidak ada komentar: