Senin, 21 Januari 2013

Logika Profesor Hukum Vs Logika Al Qur`an

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Malam kemarin, 16 Oktober 2012, saya mengikuti sebagian diskusi di Indonesia Lawyers Club, TVOne. Topik utamanya tentang pemberian grasi presiden bagi para terpidana narkoba. Namun diskusi berkembang ke arah, perlu tidaknya hukuman mati berlaku dalam sistem peradilan Indonesia.


Seorang profesor pakar hukum, Prof. M. Laica Marzuki diminta pendapatnya tentang vonis mati. Dia mengatakan tidak setuju ada hukuman mati. Bukan hanya terhadap terdakwa kasus narkoba, tetapi dalam semua bentuk kejahatan yang terjadi; termasuk pada pembunuhan yang paling sadis sekali pun (seperti genocida). Pendapat ini didukung oleh Ifdhal Kasim, dari Komnas HAM. Sosok Fajroel Rahman juga seide dengan mereka. Ifdhal mengatakan, meskipun hukuman mati berlaku di Amerika, dalam hal ini bangsa Indonesia tidak harus meniru Amerika.

Landasan pemikiran Prof. Laica adalah UUD 1945, pasal 28, bagian I1. Bunyi lengkapnya sebagai berikut:
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Berdasarkan dalil hukum ini, maka manusia di Indonesia tidak boleh dicabut atau dikurangi hak hidupnya (dimatikan), dalam keadaan apapun. Termasuk jika dia melakukan kejahatan apapun. Begitu logika yang dikembangkan Prof. Laica. Dia tidak menampik hukuman berat bagi kasus narkoba, tetapi bentuknya bukan hukuman mati. Menurutnya, kalau diterapkan hukuman mati, berarti melanggar Konstitusi (UUD 1945).
Menurut saya, pandangan Prof. Laica terlalu TEKSTUALIS atau LITERAL. Seperti kalau seseorang melihat dengan “kacamata kuda”, tidak bisa belok-belok, tetapi harus lurus ke depan…selamanya.
Cara pandang demikian dalam khazanah fiqih Islam mirip dengan pandangan-pandangan kaum Zhahiri (pengikut Abu Dawud Azh Zhahiri rahimahullah). Jadi kesimpulan-kesimpulan hukum diambil melalui pemahaman secara literal terhadap teks-teks ayat atau hadits Nabi.

Beberapa catatan penting:
[1]. Pasal 28 UUD 1945 tentang HAM, salah satu tujuannya ialah menjaga kehidupan manusia. Menjaga kehidupan manusia itu bukan hanya bisa ditafsirkan dengan: meniadakan hukuman mati. Tetapi bisa juga ditafsirkan: mencegah terjadinya pembunuhan. Bukankah kita sama-sama tahu, bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati.
[2]. Adanya ancaman hukuman mati, akan membuat banyak manusia lebih menghargai kehidupan orang lain. Sebab vonis mati adalah hukuman terberat yang diterima manusia; jika ancaman itu ada, manusia akan berpikir 1000 kali sebelum membunuh orang lain. Jadi hukuman mati bisa bermakna “menakut-nakuti manusia” agar tidak membunuh.
[3]. Bagaimana mungkin akan tercapai keadilan, jika seorang pembunuh bisa hidup dan menikmati kehidupan (meskipun dalam penjara), padahal dia telah menimbulkan kematian bagi orang lain? Dimana letak keadilannya, sang pembunuh sudah melenyapkan nyawa orang lain? Bukankah nilai kehidupan korban pembunuhan sama mahalnya dengan nilai nyawa sang pembunuh? Meniadakan vonis mati sama dengan melestarikan kezhaliman, terutama dalam kasus-kasus penghilangan nyawa orang lain.
[4]. Adalah benar belaka bahwa kita harus menjaga kehidupan manusia, tetapi harus diingat, bahwa manusia itu bisa melenyapkan kehidupan orang lain. Dia bukan saja bisa dibunuh (melalui vonis mati), tetapi bisa juga membunuh orang lain (dengan segala alasannya). Maka posisi hukuman mati bukanlah untuk meremehkan nyawa si pembunuh, tetapi untuk mengakhiri kesempatan baginya untuk membunuh manusia yang lain (lagi). Kalau tidak dimatikan, dia bisa melakukan penghilangan nyawa kembali.
[5]. Pembunuh yang tidak dihukum mati, akan menimbulkan rasa dendam, frustasi, dan marah di pihak keluarga korban pembunuhan. Dendam itu belum akan tuntas, sebelum si pembunuh juga dibunuh. Dendam ini bisa memicu kekerasan dan konflik berkepanjangan antar keluarga dan anak-keturunannya. Artinya, meniadakan vonis mati sama dengan melestarikan kekerasan dan pembunuhan berkepanjangan.
2:179
Bagi kalian, dalam hukum qishash itu, ada kehidupan, wahai para Ulul Albaab, agar kalian bertakwa.” (Al Baqarah: 179).

Hukuman mati bagi para pembunuh (secara sengaja dan zhalim) adalah instrumen yang bisa memberi kehidupan bagi manusia. Pertama, ancaman sanksi mati akan membuat manusia berpikir 1000 kali sebelum membunuh orang lain. Jika dia membunuh, sanksinya akan dibunuh. Kedua, menjaga kehidupan tidak hanya ditafsirkan menjaga nyawa si pembunuh; tetapi ditafsirkan juga sebagai menghargai sangat mahal nyawa korban yang sudah dibunuh. Selagi nyawa dianggap murah, disana pembunuhan dan kekerasan akan merebak. Ketiga, memberikan hukuman mati kepada si pembunuh, hal itu akan menerbitkan keadilan dan menghentikan segala konflik, dendam, dan balas-membalas nyawa. Berarti ada lebih banyak nyawa yang bisa diselamatkan.

Demikian diskusi kecil ini. Kadang pemikiran seorang profesor tidak menyampaikan ke arah kebenaran (persepsi) dan keadilan (hukum). Islam telah mengajarkan timbangan-timbangan keadilan. Semoga kita memahami. Amin.

(Abah Syakir).

Tidak ada komentar: